Aku sangatlah tahu kehidupanku dan kehidupan Rio begitu berbeda. Karena tahu berbeda, aku jadi ingin mencoba mendatangi tempat yang biasa didatangi oleh Rio, tapi tidak pernah kudatangi satu kali pun.
"Aku nggak ngerti kenapa Leo ingin ditemani datang ke pasar malam. Kan nggak ada yang menarik di sini."
Bagi Rio mungkin mendatangi pasar malam adalah hal yang membosankan, tapi tidak bagiku. Aku selalu dilarang datang ke pasar malam, jadi sekarang aku sangat bersemangat meski baru sampai tempat parkirnya saja, "Aku nggak peduli, pokoknya Rio harus mengantarku berkeliling."
Rio yang sedang memarkirkan motor menghela napas, "Baiklah, tapi jangan minta naik wahana apapun yang ada di sini dan juga jangan jauh-jauh dariku."
"Apa sih? Aku kan bukan anak kecil yang kalau nyasar nggak bisa pulang sendiri. Jangan berlebihan deh," kesal karena Rio mendadak memperlakukanku seperti bocah SD, aku protes.
"Leo kan nggak pernah mendatangi tempat seperti ini, aku cuma nggak mau kamu sampai kecopetan."
Oh, jadi ini yang dikhawatirkan oleh Rio ya? Aku tidak pernah mencemaskan hal seperti ini sebelumnya karena tempatku pergi tidak jauh-jauh dari mall, "Oke deh. Rio kan preman, aku pasti sangat aman jika bersama denganmu."
Rio langsung menatapku dengan pandangan tidak suka, "Aku bukan preman."
Aku juga tidak akan langsung percaya jika ada yang mengatakan Rio adalah preman. Tapi dari pengalaman yang kualami, aku tahu Rio punya semacam pengaruh besar sampai bisa membuat preman dan anak-anak berandalan daerah panti asuhan Kasih Mulia takut padanya.
Buktinya tadi saat aku ingin ke panti, ada beberapa orang dengan penampilan seperti preman yang terlihat terang-terangan ingin menjauh dariku, bahkan ada juga yang menatap dengan pandangan takut.
Karena penasaran dan iseng menanyakannya pada anak-anak panti, mereka justru memberi jawaban yang membuatku terbengong, "Rio adalah penguasa daerah sini, adik-adikmu mengatakan hal semacam itu padaku. Nggak salah aku mengambil kesimpulan Rio preman kan?"
"Tolong jangan bahas julukan yang seenaknya diberikan orang lain padaku. Lebih baik kita muter-muter aja di sini sampai kau bosan."
Dengan ekspresi jengkel Rio mulai berjalan meninggalkanku, tapi aku dengan cepat menyamai langkahnya sambil menahan tawa. Kembaranku ini benar-benar unik ya? Dia bisa bersikap terlalu baik, tapi di sisi lain bisa ditakuti juga.
Akhirnya selama berjalan mengelilingi tukang jualan yang berada di pasar malam, aku terus membahas mengenai dua sifat bertolak belakang yang dimiliki Rio.
Walau menunjukkan ekspresi tidak nyaman, tapi Rio mau menjawab segala macam pertanyaan yang kuajukan. Menjelaskan sifat buruknya terpengaruh dari lingkungan yang membesarkannya, lalu dia yang tetap harus menunjukkan sikap baik untuk menjadi contoh anak-anak panti, sampai mengatakan Rio sengaja masuk ekskul karate saat SMP hanya untuk bisa melakukan perlawanan jika sudah diganggu preman.
Bahkan dengan penuh percaya diri Rio juga menegaskan tidak pernah mengotori tangannya dengan darah setetes pun. Aku sempat bergidik ngeri mendengar hal itu, tapi Rio dengan cepat menambah penjelasan kalau dia tidak pernah memukul seseorang sampai berdarah, dia lebih memilih melawan dengan jurus-jurus karate. Tanpa ada bukti luka yang berarti, tapi menyakitkan.
Aku langsung tahu ternyata kini sudah mendapatkan saudara yang memiliki sifat yang sangat mengerikan. Kupikir hidup Rio sangatlah simpel karena cukup menunjukkan segala macam sifat baik saja, tapi ternyata sungguh sangat runyam. Aku sangat beruntung karena tidak mendapat masalah saat sedang berpura-pura menjadi Rio ya?
"...jadi jika ada yang salah mengenalimu, abaikan aja. Selama Leo nggak melakukan hal yang mencolok, kamu aman."
Jika ada yang salah mengenali, abaikan saja ya? Aku mengangguk mengerti, "Baiklah, aku akan mengikuti saranmu untuk kebaikan diriku."
Rio tersenyum puas mendengar respon yang kuberikan, "Karena kita sejak tadi udah memutari pasar malam ini, apa sekarang kita harus pulang?"
Rencana mendatangi pasar malam memang kulakukan agar Rio bisa lebih terbuka mengenai dirinya, dan tadi dia sudah mau berbagi cerita. Karena sudah sukses menjalankan rencana, aku merasa cukup puas, "Bagaimana kalau kita sekalian makan malam dulu sebelum pulang? Aku lapar."
"Aku juga lapar. Jadi mau makan apa?"
Mataku mencari tukang jualan makanan yang terlihat mengundang selera, "Bagaimana jika mie ayam?"
Rio menggeleng saat aku kembali menatapnya, "Makan mie nggak bagus buat kesehatan."
Aku tahu, tapi mie adalah makanan yang sangat jarang kumakan, "Aku udah lama nggak makan mie. Daripada harus makan mie instan, lebih baik aku pilih makan mie ayam kan?"
"Ya udah, oke, kau bisa makan mie ayam. Sana ke tukang mienya duluan, aku mau ke toilet."
"Rio mau meninggalkanku sendirian?" aku menatap Rio dengan bingung. Dan langsung dibalas dengan tatapan jengkel olehnya, "Tadi kau yang mengatakan bukan anak kecil yang nggak bisa pulang kalau ditinggal sendirian kan? Ah, jika Leo cemas takut kecopetan, berikan dompetmu padaku."
Tadi kau yang takut aku dicopet, dan sekarang kamu justru memalakku? Tapi aku tetap memberikan dompet pada Rio tanpa mau memusingkan aksi ini.