Karena stamina tubuhku belum benar-benar kembali normal setelah mengalami koma, setelah pulang sekolah terkadang aku mempunyai kegiatan baru. Berolahraga di aula sekolah yang kosong.
Aku tidak mau terus-terusan dikhawatirkan Mama, jadi aku mulai rajin melatih tubuhku agar tidak cepat merasa lelah. Biasanya olahraga yang kulakukan adalah lari memutari aula atau bermain basket selama setengah jam.
Padahal aku lebih ingin main skeatboard atau sepatu roda seperti biasa, tapi aku tidak mau mengambil risiko dengan melakukan olahraga yang tergolong berbahaya. Lebih baik melakukan olahraga yang aman daripada kakiku terkilir, keram, atau sejenisnya.
Meski ini bukan olahraga yang kusukai, ada kalanya aku bisa menghabiskan waktu sampai satu jam di aula karena terlalu asyik melakukan aktivitas yang menguras keringat. Kalau sudah lupa waktu, Pak Rahmat pasti protes karena takut aku kabur dari sekolah seperti yang pernah dilakukan oleh Rio.
Padahal mustahil aku melakukannya.
Memangnya jika ingin kabur, aku mau pergi ke mana coba? Panti asuhan Kasih Mulia? Aku lebih memilih diantar daripada harus pergi diam-diam ke sana. Lagian aku juga masih dilarang mengendarai kendaraan sendiri atau menggunakan kendaraan umum karena hal itu yang menyebabkanku mengalami kecelakaan sampai koma selama tiga minggu.
Jadi aku harus mau merepotkan Pak Rahmat dengan mengantarku ke mana saja. Seperti sekarang ini, aku sudah diantar ke panti asuhan Kasih Mulia dan sedang berjalan kaki di gang masuknya. Karena letak bangunan panti sedikit masuk ke gang yang cukup sempit dimasuki mobil, aku harus sedikit berjalan kaki untuk sampai ke sana.
Dan jujur terkadang terasa menyebalkan jika harus bertemu dengan anak-anak geng yang menghalangi jalan. Aku harus memelototi mereka dulu baru bisa lewat dengan damai.
Tapi saat baru mau berbelok di tikungan, langkahku seketika terhenti saat melihat pemandangan yang tidak pernah ada sebelumnya.
"Awas aja kalau kalian sampai berani mengganggunya, gue akan kasih pelajaran lebih daripada ini!"
Seperti ada angin dingin dari kutub selatan yang sedang menusuk pori-pori kulitku saat melihat Rio sedang berdiri dengan belasan orang yang terkapar tak berdaya di dekat kakinya.
Ini adegan pembantaian? Ucapan yang mengatakan Rio penguasa daerah ini ternyata sangat benar ya? Kupikir itu cuma terlalu dilebih-lebihkan saja.
Tanpa sadar aku meringis mengikuti rintihan kesakitan yang sedang dilakukan oleh belasan orang berseragam SMA itu. Aku janji tidak akan pernah membuat Rio marah, dia terlalu mengerikan!
"Oh, apa ini orang yang sedang dibicarakan, Io?"
Tubuhku terlonjak kaget saat ada seseorang yang secara tiba-tiba merangkul bahuku. Aku melirik orang yang sudah seenaknya bersikap bersahabat ini. Dia juga memakai seragam SMA, dan ini pertama kali aku bertemu dengannya.
Walau dia adalah teman Rio, aku tetap tidak suka dengan sikap sok akrab yang dia lakukan. Dengan jengkel aku mencoba menjauhkan tangannya dari bahuku, "Men–"
"Jangan sentuh dia."
Aku menatap Rio yang mendahuluiku bicara. Tatapan sangat mengancam yang tak sengaja kulihat langsung membuat bulu kudukku merinding karena merasa takut. Eh, tapi kenapa ucapannya terdengar seolah aku perempuan yang tidak ingin diganggu oleh laki-laki lain? Bulu kudukku semakin merinding dengan alasan yang berbeda.
Mencoba untuk tidak membalas tatapan Rio, aku menepis tangan yang bertengger di bahuku, "Menjauh dariku."
Orang ini justru tertawa, "Gue temen Io kok, santai aja kali."
"Gue nggak ingat pernah berteman dengan lo, Aji."
"Kita kan udah sekelas terus saat SMP, kok lo sombong bangat sih mentang-mentang udah diadopsi keluarga kaya?"
Jadi ini ya maksud Rio jangan sampai tersulut emosi atas provokator yang diberikan? Orang ini benar-benar tahu bagaimana cara menyulut emosi seseorang.
Dengan penasaran tatapanku mengikuti orang yang dipanggil Aji yang sedang berjalan mendekati Rio tanpa takut.