Karena sudah pernah ikut lomba cerdas cermat antar sekolah saat SMP, aku sangat tahu kegiatan ini begitu menyita banyak waktu untuk lebih fokus belajar dibanding biasanya.
Dulu aku senang-senang saja melakukannya, tapi kali ini tidak. Aku justru merasa bosan.
Belajar sudah menjadi bagian dari hobiku, hanya saja aku jadi banyak mengabaikan banyak hal karena terlalu fokus belajar.
Aku mengabaikan keluarga yang sudah kumiliki. Mama dan Papa tentu memberi dukungan saat aku mengatakan mau mengikuti cerdas cermat, hanya saja perhatian mereka berkurang karena kesibukanku.
Rasanya aku mengerti maksud ucapan Leo yang mengatakan masih bisa merasa kesepian walau sudah memiliki keluarga yang lengkap.
"Kok lesu? Ada apa? Cerdas cermatnya nggak berjalan lancar?"
Aku menatap Bagas yang duduk di hadapanku, "Berjalan lancar kok, terlalu lancar malah, tapi aku nggak begitu niat melakukannya karena harus berpasangan dengan Sinta."
Iya, Sinta merupakan saah satu alasan yang membuatku malas mengikuti cerdas cermat. Rasanya sangat menjengkelkan karena nilai-nilai dia semakin bagus sejak aku mulai mengajari berbagai macam mata pelajaran.
"Kok malah nggak suka? Banyak cowok yang iri loh karena lo bisa dekat dengan Sinta."
Aku juga tahu mengenai beberapa siswa yang tertarik pada Sinta karena dianggap memiliki wajah imut, tapi berhubung Sinta cukup pendiam dan juga nerd, mereka segan melakukan pendekatan. Alhasil mereka pun merasa iri padaku yang bisa terus-menerus bersama Sinta.
Padahal aku sangat merasa tidak nyaman harus menghabiskan waktu bersama Sinta, kenapa mereka harus iri segala sih? "Sampai kapan pun aku nggak pernah suka sama cewek yang dapat menyamai nilai-nilai pelajaranku."
"Iya deh, orang pinter mah beda pemikirannya."
Aku menghela napas dengan malas, "Apa Bagas juga suka pada Sinta? Jika iya, aku dengan senang hati pasti membantumu."
Bagas tertawa sambil menggeleng, "Cewek pintar seperti Sinta terlalu berat untuk didapatkan karena cuma tahu belajar doang. Dia jauh lebih cocok dipasangkan sama lo tahu."
Hanya karena sama-sama suka belajar tidak berarti kami cocok kan? "Tapi akunya nggak mau sama dia."
Melihat Bagas mengangkat bahu dengan gerakan santai, aku menghela napas. Kenapa dia selalu begini sih? Padahal aku sudah sering menunjukkan reaksi penolakan pada Sinta, tapi Bagas selalu saja membahas tentang ini. Apa keuntungan yang dia dapat coba jika aku benar-benar berpacaran dengan Sinta?
Lagipula jika bukan karena cerdas cermat, kami tidak mungkin sering terlihat bersama, "Sudahlah, lebih baik aku ke mushola sekolah aja. Pasti lama harus mengajari Sinta lagi."
Setalah bangkit dari posisi dudukku, Bagas melambaikan tangan dengan gerakan tidak niat, "Jangan terlalu keras padanya ya?"
Tanpa mau menanggapi ucapan Bagas, aku memutuskan langsung pergi ke mushola yang dimiliki sekolah untuk salat Zuhur.
Kalau tidak salat saat sedang jam istirahat, aku tidak punya kesempatan melakukannya lagi. Setelah jam pulang sekolah terkadang guru memberi pelajaran tambahan untuk latihan cerdas cermat, atau aku akan terlalu sibuk mengajari Sinta tentang pelajaran yang tidak dimengerti olehnya.
Kapan cerdas cermat ini selesai sih? Aku ingin bersantai sedikit dengan tidak harus terus-terusan belajar.
Apa karena tidak harus mempertahankan beasiswa aku jadi sedikit malas belajar ya? Atau ini faktor Sinta yang menjadi pasanganku? Atau justru karena sekarang sudah memiliki keluarga jadi aku ingin meluangkan waktu bersama dengan mereka?
Memang aku masih sering mengobrol dengan Mama atau menghabiskan waktu bersama dengan Leo, tapi tetap terasa masih ada yang kurang.
Bahkan karena terlalu sibuk dengan lomba cerdas cermat, aku sampai melupakan tentang Ayah yang belum menemuiku sampai saat ini.
Dan kenapa aku yang sedang dipusingkan oleh lomba cerdas cermat harus berpapasan dengan Sinta saat keluar dari mushola setelah melaksanakan salat Zuhur? Tapi begitu melihat tatapan aneh yang diberikan olehnya, rasa jengkelku seketika terganti dengan bingung.
Kenapa dia menatapku dengan tatapan seperti itu? Apa ada sesuatu yang salah? "Rio beragama Islam?"
Aku semakin mengernyit bingung mendengar pertanyaan aneh yang Sinta berikan, "Kok nanya? Kan barusan aku salat di mushola."