✧ L ✧
Mengakui Rio sebagai saudara kembar tidak membuatku mengetahui segala macam hal tentangnya. Bagaimana pun kami baru saling mengenal sejak dua bulan yang lalu, mustahil kan dalam waktu sesingkat itu membuatku mengetahui seluk-beluk mengenai Rio?
Dan saat ini aku menemukan image yang cocok disandang oleh seorang Rio Arizki. Fake nerd. Memang Rio lebih mengutamakan belajar dibanding perempuan sampai cocok dikatakan sebagai kutu buku, tapi dia juga ditakuti para berandalan.
Melihatnya yang bisa mengabaikan Sinta dan Franda secara bersamaan membuatku ingin protes, tapi tidak benar-benar kulakukan setelah mengingat korban yang telah kena hajar Rio.
Rio sepertinya sangat menahan diri padaku sih, tapi lebih baik tidak membuatnya marah untuk mencegah hal yang tidak diinginkan terjadi.
"Baiklah, kalau begitu hari ini sampai di sini aja. Lalu besok apa yang harus kita lakukan? Mencoba debat bahasa Inggris?"
"Akan kupersiapkan."
Aku melirik Sinta yang duduk di sampingku. Sedari tadi dia tidak memilih jawaban 'iya' atau 'tidak' saat diajak bicara oleh Rio. Perempuan yang menarik. Dan Rio bukan hanya sekedar menunjukkan penolakan padanya, tapi sampai dianggap sebagai saingan segala.
Karena aku sudah dulu memutuskan memberi dukungan kepada Franda, yang bisa kulakukan pada Sinta sekarang hanyalah satu. Menghiburnya.
Tanganku mengambil kunci motor milik Rio yang berada di atas meja, "Aku yang akan bawa ini."
Rio yang kalah cepat saat mau mengambil kunci motor menatapku dengan bingung, "Kamu mau nganter Franda pulang dengan motor? Emang dia mau?"
"Aku nggak ap –“
"Aku yang akan nganter Sinta," sebelum Franda sempat menyuarakan persetujuannya, aku duluan bicara.
"Apa?"
Tanpa memedulikan raut heran Rio, aku berdiri dari posisi dudukku, "Aku ingin mengajaknya kencan. Ayo, Sin!" dan tanpa menunggu persetujuan, aku menarik tangan Sinta untuk keluar dari panti asuhan.
"Tu- tunggu dulu, Leo."
Melihat wajah Sinta yang begitu kebingungan setelah kami berada di luar panti, aku menghela napas sejenak, "Rio sudah sangat kejam padamu sejak tadi, jadi aku yang akan menggantikannya untuk menghiburmu."
Karena Sinta masih tidak mengerti dengan penjelasan yang diberikan, aku mencoba mengatakannya dengan kalimat yang jauh lebih mudah, "Biarkan aku menjadi Rio untukmu hari ini."
"Ke- kenapa kamu harus menjadi Rio?"
Aku mencondongkan tubuh ke depan untuk mendekatkan wajahku, membuat Sinta secara refleks bergerak menjauhkan wajahnya, "Kami sangat mirip kan? Sebagai permintaan maaf karena sudah membawa Franda ke panti, biarkan aku menjadi Rio."
Ah, benar juga, Rio tidak mungkin bersikap seperti ini pada perempuan ya? Sebelum Rio keluar dari panti buat mengajukan protes, lebih baik aku langsung menjadi dia saja agar Sinta setuju, "Karena Sinta sudah berusaha keras untuk belajar, bagaimana kalau kita refreshing dan jalan-jalan?"
Tidak ada ekspresi bingung lagi di wajah Sinta, dia sekarang terlihat tertegun.
Mencoba melupakan segala macam sifat gentleman yang biasa kulakukan pada perempuan, aku mulai naik ke atas motor Rio, "Kenapa malah diam aja? Mau kutinggal?"
"Eh, jangan tinggalkan aku," dengan panik Sinta naik ke atas boncengan motor.
Padahal ini sangat bukan aku sekali, tapi aku tetap harus menghadapi Sinta dengan cara yang kemungkinan besar bisa Rio lakukan. Bersikap secuek mungkin dan juga menunjukkan rasa tidak peduli yang tinggi.
Setelah memijat kedua bahuku secara bergantian untuk melemaskan otot-otot yang kaku, aku pun menjalankan motor menjauhi panti asuhan Kasih Mulia.