Tidak adanya Bibi Erni di rumah dengan alasan sedang pulang kampung membuat jam makanku berantakkan. Aku malas harus makan sendirian di meja makan, dan jika Rio terlalu sibuk mengurusi lomba cerdas cermat, aku baru makan setelah Mama pulang ke rumah.
Dan karena sikapku itu, Mama akhirnya menyuruh untuk makan di luar agar aku tidak memiliki masalah dengan segala macam penyakit lambung.
Jadi di sinilah aku sekarang, di foot courd yang pernah kudatangi bersama Rio. Dan karena tempatnya berdekatan dengan SMAN 18, mau tidak mau aku jadi memikirkan penghuni sekolah yang kukenal.
Saat ini pasti Rio sedang belajar bersama dengan Sinta. Entah sedang belajar apa, tapi yang jelas Sinta mendapat pengajaran kejam dari Rio. Rivalitas satu pihak yang masih membuatku heran karena bisa terjadi hanya karena memiliki nilai pelajaran yang sama bagusnya.
Apa jadinya jika Sinta menerima tantangan Rio untuk mendapatkan ranking satu di kelas ya? Hubungan mereka bisa menjadi lebih dekat lagi? Keningku berkerut karena tidak suka dengan kemungkinan seperti itu dapat terjadi.
"Paman Rizal!" saat melihat sosok yang sudah tak asing lagi, aku memanggil namanya sambil melambaikan tangan dengan penuh semangat.
Karena Paman Rizal melihat ke arahku kemudian berjalan mendekat, aku langsung tersenyum senang. Akhirnya aku benar-benar mendapatkan teman makan yang sudah tak asing lagi!
Silakan salahkan Papa yang sering pulang malam karena harus lembur di kantor, aku sekarang jadi kelewat senang menemui seseorang yang juga bisa membuatku merasa nyaman seperti sedang bersama dengan Papa.
Entah kenapa aku jadi membayangkan Paman Rizal sebagai Papa yang mau meluangkan waktu kerja hanya untuk bisa makan siang bersamaku. Bahkan unek-unekku yang tadi sedang memikirkan Rio dalam sekejap langsung menghilang.
"Kamu sudah selesai makan ya?" saat sudah duduk di hadapanku, Paman Rizal bertanya sambil menatap piring yang berada di atas meja.
Karena piring dan gelas yang berada di atas meja di hadapanku kosong menandakan sudah selesainya kegiatan makan, aku tersenyum canggung, "Walau sudah selesai, aku masih boleh menemani Paman kan?"
Paman Rizal tersenyum, "Tentu saja."
Ada semacam rasa bahagia saat mendengar persetujuan ini. Kenapa bukan Papa saja sih yang duduk di depanku saat ini? Kan aku merasa menjadi anak kurang ngajar karena mengharapkan Paman Rizal bisa menjadi orang tuaku, "Oh ya, apa Paman bekerja di dekat sini?"