Berpura-pura menjadi Rio terkadang menjadi cobaan yang sangat berat. Aku senang sih karena Ayah dan Bunda tak menyadari kalau kami sedang bertukar identitas, tapi masalah yang harus kuurus sudah muncul sekarang.
"Kenapa?" tanyaku sejutek mungkin sambil menatap Evi yang berada di luar rumah. "Gue nggak terima lo disuruh bertunangan dengan anak kapolres! Lo harus menolaknya!"
Loh, Rio sudah melakukan penolakan duluan? Hmm... lalu apa lagi yang bisa kulakukan agar Evi tidak mau mendekati Rio ya? "Gue udah dipercaya sama Pak kapolres, mustahil jika ingin menolak."
"Tapi kan lo bertunangan dengan cewek yang belum dikenal kan? Kok mau sih? Lebih baik tolak aja ya? Gue temenin deh menemui kapolresnya."
Rio dan Franda sudah saling mengenal. Aku juga tahu Franda itu perempuan yang baik dan pantas bersanding dengan Rio, tidak seperti Evi yang sedang memaksa dan mengguncang-guncang lengan tangan kananku begini.
Aku jadi bersyukur karena Dewi tidak melakukan pemaksaan yang sangat berlebihan saat memintaku menjadi pacarnya. Dewi ternyata sedikit lebih baik daripada Evi karena langsung menyerah saat kutolak. Eh, tunggu, sepertinya tidak. Sesekali Dewi masih mencoba mencari perhatianku.
Apa Rio baik-baik saja? Mudah-mudahan hari ini Dewi tidak mencoba mendekati dulu, bisa semakin rumit jika Rio tahu aku juga punya masalah dengan perempuan.
Tapi dibanding terus memikirkan Dewi, aku harus mengurus Evi dulu sekarang. Karena tidak ada cara normal yang dapat kupikirkan lagi, aku mencoba sesuatu yang sangat tidak biasa, "Vi, apa lo benar-benar mencintai gue?"
Evi mengangguk, "Tentu aja. Gue suka lo sampai nggak ingin lo bersama dengan cewek lain."
"Jika sangat suka, berarti tahu semua hal tentang gue dong?"
"Tentu tahu. Walau Rio sering dapat masalah sama anak-anak geng sampai berkelahi dengan mereka, gue tetap suka sama lo."
"Kalau gitu apa lo yakin orang yang saat ini berdiri di hadapan lo adalah Rio?"
"Hah?"
Aku memberikan senyum terlicik yang kubisa sambil mengangkat dagu Evi menggunakan tangan kananku, "Lo pernah salah mengenali gue sebagai Rio di mall, dan lo nggak tahu kami sering bertukar identitas? Mimpi aja lo menjadi pacar Rio jika nggak bisa membedakan kami."
Melihat ekspresi wajahnya syok sampai tubuhnya ikut mematung, aku melepaskan dagu Evi sambil mendengus sebal, "Lebih baik lo jangan tunjukkan muka lo lagi di depan Rio. Memalukan tahu! Ah, dan juga jangan ganggu cewek yang tinggal di depan rumah. Jika lo sampai berani macam-macam, gue nggak ragu melakukan sesuatu yang membuat lo nyesal."
"Jadi lo bukan Rio? Nggak usah sok menjadi dia dan bicara seenaknya sama gue deh!"
Aku tersenyum melihat Evi yang kali ini menunjukkan ekspresi tidak suka. Dia ternyata tidak langsung berpaling suka padaku ya? Sepertinya dia sedikit lebih baik dari dugaanku, "Gue Rio kok."
Melihat ekspresi Evi yang seolah langsung mempercayaiku, aku menahan diri untuk tidak menggeleng heran. Tidak konsisten bangat sih. Lagian kalau tidak bisa menemukan perbedaan seperti yang sudah dilakukan Sinta dan Franda, jangan coba main-main deh, "Lihat? Lo bahkan nggak sadar gue Rio kan? Jika nggak tahu sedang berhadapan dengan siapa, jangan coba-coba mendekati gue lagi deh."
"Nggak, lo pasti bukan Rio. Lo cuma mau mempermainkan gue kan?" Evi menggeleng sambil menatapku dengan pandangan curiga.
Bukannya Rio tipe yang cukup kejam saat menolak perempuan? Buktinya dia menunjukkan sifat yang keras pada Sinta, dan dia juga mengatakan sudah bertunangan pada Evi, "Jika bukan Rio, untuk apa gue mau repot-repot melakukan semua penolakan ini? Kita kan nggak saling kenal, mana bisa gue berdebat sama lo seleluasa ini tanpa hambatan."
"Ja- jadi lo Rio? Gue suka sama lo, Rio. Gue janji nggak bakal salah mengenali lo lagi."