"Apa Rio baik-baik aja?"
Aku menatap Franda yang menunjukkan ekspresi khawatir. Tadi aku sengaja membiarkan Rio menghadapi Rian secara langsung, sepertinya tindakan itu sukses membuat Franda yang mengetahui image buruk Rian merasa cemas, "Tenang aja, dia jago berkelahi kok."
"Aku justru khawatir jika Rio terlibat perkelahian sampai menimbulkan masalah yang membuat pihak sekolah turun tangan."
Benar juga. Rio tidak mungkin salah dikenali sebagai aku karena seragam batik yang dipakainya. Meski wajah kami identik sekalipun, pihak sekolah pasti tetap menganggap Rio sebagai anak sekolah lain yang sedang mencari masalah dengan siswa SMA Tirta Bangsa.
Meski senang Rio datang di saat yang tepat, mendadak aku menyesal telah meninggalkannya begitu saja. Apa aku harus kembali ke tempat parkir untuk mengecek keadaan? Sangat gawat jika Rio tidak dapat mengendalikan emosinya.
Tapi sebelum sempat berpindah dari posisiku yang sedang berada di luar pagar sekolah, aku melihat sosok Rio yang berjalan mendekat. Mudah-mudahan ini pertanda baik.
Atau tidak? Berhubung motor Rio ada bersama dengan kuncinya, aku memutuskan merebut helm dari tangan Franda kemudian kabur dengan cara membawa motor Rio pergi dari SMA Tirta Bangsa agar terhindar dari omelan.
Lebih baik menunda menemui Rio. Dan untuk cara Rio pulang, ada Pak Rahmat yang sudah menungguku dan bisa mengarnya pulang memakai mobil.
Satu-satunya hal yang kukhawatirkan adalah mencari tempat kabur. Aku tidak tahu Rio pulang ke rumahku atau ke rumahnya sendiri, jadi aku harus mencari tempat lain.
Tapi harus ke mana coba? Panti asuhan Kasih Mulia juga bukan tempat kabur yang aman. Aku harus mencari tempat lain yang belum pernah kukunjungi bersama Rio.
"Benar juga, aku sudah nggak ke sana sejak mengalami koma ya?" saat ingat suatu tempat, aku tersenyum senang sambil melajukan motor yang kukendarai ke skatepark.
Tidak membawa skateboard menjadi urusan belakangan. Yang jelas sekarang aku ingin cepat sampai ke tempat main yang dulu menjadi langgananku.
"Mengecewakan," setelah sampai skatepark dan mendapati tidak ada orang di sini, aku mengeluh. Jika ada orang, ada alternatif yang bisa kupilih untuk meminjam skateboard, tapi karena tidak ada justru membuat kedatanganku sia-sia.
Kenapa aku sangat bersemangat dan buru-buru datang ke sini sih? Skatepark kan bukan tempat yang bisa langsung dituju setelah pulang dari sekolah.
"Leo."
Terkejut. Dengan reflels yang bagus aku bisa menyeimbangkan tubuhku yang sedang duduk di atas motor saat ada seseorang yang secara tiba-tiba memukul punggungku dengan kencang. Jengkel telah berada di situasi yang cukup berbahaya, aku menatap si pelaku pemukul. Leon.
Mau apa lagi dia? Apa aku harus berpura-pura menjadi Rio meski sedang memakai seragam batik SMA Tirta Bangsa?
"Ngapain lo sendirian di sini?"
Tatapanku tertuju pada skateboard berwarna hitam yang berada di tangan Leon. Tidak disangka benar-benar ada yang langsung datang ke skatepark setelah pulang dari sekolah, "Lo sendiri ngapain pukul punggung orang seenaknya?"
"Nggak usah sok jutek gitu. Gue tahu lo bukan Io karena tadi gue habis ketemu Io yang pakai seragam batik SMAN 18."
Apa dia pikir sikapku bisa berubah drastis? Meski dapat membedakan, aku tetap jengkel karena Leon sudah memukul punggungku untuk yang ke dua kalinya, "Lo sendiri ngapain di sini?"
Leon menunjuk ke arah skateboard yang dipegang tangan kanannya, "Lo punya mata kan?"
Aku memarkirkan motor kemudian menonton dari kursi yang berada di pinggir tempat skatepark yang dipakai Leon untuk mulai bermain skateboard. Dulu aku cukup sering ke sini, tapi aku belum pernah melihat Leon menjadi salah satu orang yang berlangganan main skateboard di sini.