Rio tidak pernah memarahiku memakai cara yang sama saat dia marah pada anak-anak berandalan yang hobi mengusiknya. Aku senang sih Rio tidak melakukan aksi kekerasan, tapi caranya marah padaku tetap saja menyeramkan. Rio melampiaskan semua emosinya dengan cara memasak.
Kegiatan memotong yang sepertinya sengaja dilakukan degan gerakan slow motion adalah pemandangan mengerikan. Pisau yang berada di tangan Rio seperti bisa terlempar ke arahku kapan saja.
Ughh... tidak kusangka Rio memilih pulang ke rumahku dan membuatku harus melihat kegiatan menyeramkan ini dengan jauh lebih jelas.
Rumah Ayah dapur dan meja makan berada di ruangan berbeda, tapi rumahku kebalikannya.
Jika sudah duduk di meja makan, aktivitas dapur dapat terlihat dengan sangat jelas.
"Aku tadi bertemu Leon lagi."
Melihat pisau yang dipegang Rio berhenti bergerak, tubuhku semakin berkeringat dingin. Dia memang jauh lebih menyeramkan dibanding Leon! "Nggak ada hal berbahaya yang terjadi kok, tapi dia menyebalkan."
Saat melihat tangan Rio kembali bergerak memotong bahan makanan, tanpa sadar aku menghela napas lega. Saat sedang bad mood, Rio jauh lebih pendiam dibanding biasanya. Aku harus mencatat informasi baru ini baik-baik.
Setelah beberapa menit berada dalam suasana mencekam, akhirnya Rio selesai memasak juga.
Capcai yang sudah matang Rio bawa ke meja makan, setelahnya dia duduk di hadapanku.
Tanganku bergerak untuk berdoa sebelum mulai menikmati makan sore. Iya, ini memang makan sore karena sekarang sudah jam tiga sore.
"Aku baru sadar, jika sedang makan berduaan begini kita pasti berdoa dulu ya?"
Aku menatap Rio yang sepertinya juga baru selesai berdoa. Jika kami sedang makan di tempat umum, sepertinya ini menjadi pemandangan yang sangat aneh karena kami berdoa memakai cara yang berbeda ya? "Aku refleks melakukannya karena kamu juga berdoa."
"Dan aku juga melakukannya karena kamu berdoa duluan."
Lah, ternyata Rio berdoa dulu karena aku? Sekarang aku mengerti alasan kenapa kami baru sama-sama melakukan gerakan tangan berdoa saat sedang makan berduaan doang, "Kadang aku mikir loh kita tuh kayak lagi melakukan unsur SARA karena perbedaan ini."
Rio mengernyit, "Unsur SARA? Kita kan nggak saling menjelek-jelekkan agama satu sama lain, bahkan kita selama ini nggak berkomentar meski sedang melihat salah satu dari kita lagi beribadah."
Rio beribadah lima kali sehari dan aku memang tidak kasih komentar apapun walau saat sedang masuk kamarnya melihat dia beribadah.
Lagian untuk apa mengomentari orang lain yang sedang beribadah, berasa kurang kerjaan, "Sepertinya kita sudah menjadi orang yang lebih menghargai perbedaan agama dibanding orang lain ya?"