Jika Mama dan Papa tidak ada di rumah, sudah menjadi kewajiban untukku menginap di rumah Rio. Tapi karena selalu datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, akhirnya aku mendapat kesialan.
Kondisi rumah Rio sekarang lebih buruk dibanding rumahku karena tidak ada satu orang pun di sini. Ayah belum pulang kerja, sedangkan Bunda bersama Ines lagi menjenguk tetangga yang masuk rumah sakit, dan Rio yang baru kuhubungi ternyata sedang dinner bersama Franda.
Rio memang mengatakan memiliki rencana dinner, tapi dinner romantis kan dilakukan saat malam Minggu. Lalu kenapa dia malah melakukannya di malam Selasa? Apa istimewanya coba hari ini?
Kepalaku semakin bertambah pusing lagi karena Pak Rahmat sudah terlanjur pergi pulang duluan dari rumah Rio. Mau tidak mau aku harus menunggu salah satu penghuni rumah pulang karena tidak mempunyai kunci duplikat.
Dan karena tidak mau terlalu stres dengan keadaan, aku memutuskan bermain game online di ponsel. Saat sudah keasyikan main game, waktu terasa berjalan dengan sangat cepat. Apalagi kalau terlalu fokus menatap layar ponsel, suara nyamuk yang sedang terbang di sekitarku bahkan ikut terabaikan.
"Leo sedang apa di luar?"
Tapi saat mendengar suara Sinta, aku langsung mengabaikan ponsel untuk bisa melihatnya yang baru keluar dari pagar rumah, "Nggak bisa masuk karena penghuninya pergi semua. Lalu Sinta mau pergi ke mana malam-malam begini?"
"Aku mau makan malam."
Aku berdiri dari posisi dudukku kemudian berjalan mendekati Sinta. Lupakan game, bisa mendapat kesempatan melakukan dinner bersama Sinta harus lebih diutamakan, "Makan di mana? Boleh ikut? Kebetulan aku belum makan malam."
"Aku cuma mau makan di tempat pecel lele di depan, Leo masih mau ikut?"
Melihat wajah gelisah Sinta, aku mengernyit. Apa dia menganggapku sebagai anak orang kaya yang tidak bisa makan di tempat sembarangan? Pemikirannya salah bangat karena aku justru selalu menantikan Rio yang mengajak makan di warung pinggir jalan.
Bisa makan bersama Rio saja sudah cukup membuat senang, pasti lebih menyenangkan lagi jika yang menemani makan adalah Sinta, "Aku selalu ingin coba makan di sana kok."
"Benar?"
Aku bicara jujur kok, Rio belum sempat mengajakku makan pecel lele yang berada di dekat rumahnya, aku serius ingin mencoba, "Iya."
Setelah memandangi wajahku seperti ingin mencari kebenaran, akhirnya Sinta memberi anggukan, "Baiklah."
Dengan senang aku mulai mengikuti langkah Sinta agar dapat berjalan berdampingan, "Aku dengar dari Rio kalian sudah kalah mengikuti lomba cerdas cermat ya?"
"Benar. Rasanya menenangkan karena nggak harus mempelajari mata pelajaran kelas dua dan tiga lagi."
Sinta juga menantikan kekalahan seperti Rio ya? Kupikir dia kecewa karena tidak dapat belajar bersama Rio lagi, "Kalian sampai merayakan kekalahan juga kan?"
"Rio mentraktirku dan kami makan siang bersama," jawab Sinta sambil memberikan senyuman yang seketika menimbulkan perasaan cemburu karena senyum ini muncul karena kami sedang membicarakan Rio.
Apa aku boleh memonopoli senyum ini untukku seorang? Aku tidak ingin ada laki-laki lain yang terpesona dengan senyum manis milik Sinta. Mungkin keinginanku terdengar begitu egois, tapi senyum ini menjadi salah satu alasanku mulai tertarik pada Sinta.