Menjadi Leo saat dikenali sebagai Rio, kemudian menjadi Rio saat dikenali sebagai Leo, terus begitu sampai berulang-ulang dan membuat yang ingin mengenali menyerah lalu pergi. Ini jelas jauh lebih susah dari sekedar bertukar identitas saja.
Setelah nanti selesai melakukan janjian yang membuatku harus melakukan ini, bisa-bisa aku mengalami yang namanya krisis identitas.
Siap menghadapi tantangan, aku menggulung baju hitam lengan panjang yang kupakai. Siapa pun yang datang duluan ayo saja, rasanya tidak sabar menantikan kericuhan yang dilakukan oleh dua teman janjianku.
"Leo!"
Tangan kananku melambai untuk menyahuti panggilan. Jadi Dewi yang lebih on time ya?
"Sudah lama nunggu?" tanya Dewi sambil mengambil tempat duduk di hadapanku.
"Belum lama," jawabku bohong yang sebenarnya sudah setengah jam berada di sini hanya untuk menyiapkan mental sebelum janjian mulai dilaksanakan.
Bagaimana pun sangat sulit menjadi Leo dan Rio secara bersamaan. Mau memilih minum untuk dipesan saja pilihannya terbatas.
Soda dilarang. Minuman yang mengandung unsur coklat terlalu Leo sekali. Yang mengandung gula dalam porsi banyak juga bukan pilihan yang tepat.
"Orange jus," akhirnya pilihanku jatuh pada minuman yang paling pasaran untuk dipesan.
"Leo nggak pesan makanan?" tanya Dewi sambil mengembalikan daftar menu pada pelayan setelah selesai memesan.
Kepalaku menggeleng perlahan, "Aku masih kenyang."
Terlihat raut heran pada wajah Dewi yang pastinya mempertanyakan kenapa aku bisa kenyang duluan padahal ingin mentraktir. Jawabannya jelas karena aku ingin mencegah identitasku terbongkar.
Semakin sedikit informasi tersedia, semakin sulit juga mengenaliku secara tepat. "Padahal aku kan ingin makan bareng kamu."
Aku tersenyum simpul melihat wajah merengut Dewi, "Setidaknya sekarang aku menemanimu kan?"
Senyum kelewat senang menghias wajah berbentuk oval itu, "Romantis bangat sih kamu. Kita pacaran ya?"
"Nggak mau."
"Ayolah... Please~ aku kan ingin disayang dan dimanjain Leo."
Lebih baik juga memberi kasih sayang dan memanjakan Ines. Tingkah lucunya beribu kali lebih menghibur daripada melihat ekspresi memohon yang sedang Dewi tunjukkan.
"Lo ngapain duduk bareng Rio?"
Kedua netraku mengarah ke seseorang yang mendatangi meja yang kutempati. Evi. Bagus, sekarang silahkan kalian bertengkar. Aku akan menikmatinya.
"Dia itu Leo. Jangan gangguin kami deh!"
"Gue janjian sama Rio di sini. Lo udah salah ngenalin orang kali."
Dewi berdiri dari posisi duduknya, menatap Evi dengan raut kesal, "Leo juga mengajakku janjian di sini. Kamu kali yang udah salah orang."
"Nggak mungkin gue salah. Lo ngajak gue janjian di sini kan, Rio?"
Aku berhenti meminum orange jus yang sudah sampai meja untuk bisa menyahuti Evi yang meminta persetujuan, "Iya, gue ngajak lo kencan di sini."
Jawaban itu langsung membuat wajah Dewi kebingungan, "Tunggu dulu, kamu Leo kan? Kamu udah mengajakku makan di sini."
"Iya, aku menjanjikan mentraktir sebagai balasan dari coklat yang kau kasih," anggukku yang kembali memberi persetujuan.
Dewi kembali menatap Evi, ada raut puas di sana, "Tuh! Dia jelas Leo Alvarez."
Kali ini gantian Evi yang menatapku, "Nggak mungkin. Rio jelas-jelas ngajak gue jalan."
"Emang, gue ajak lo saat pengen ke panti kan?"