Grizel meneliti setiap inci dari ruangan ini dengan mata indahnya. Ruangan yang beberapa tahun lalu menjadi saksi bisu pengakuan Ayah asuhnya_ Jeffrey, atas fakta bahwa Grizel bukanlah anak kandung Jeffrey dan Yunha. Tidak ada yang berubah dari ruangan ini kecuali buku-buku yang bertambah di rak koleksi Jeffrey. Dan tentunya sedikit perubahan dari pria pemilik ruangan ini. Jeffrey terlihat sedikit menua. Walaupun postur tubuhnya tetap tegap dan rahangnya masih tegas, beberapa kerutan dimukanya tidak bisa membohongi bahwa usia pria itu terus menua.
"Bagaimana Itali? Apakah menyenangkan?" Jefffrey berbicara tanpa mengalihkan matanya dari kertas-kertas yang ada dihadapan pria itu.
"Daddy bertanya seolah-olah aku melakukan perjalanan wisata kesana," Grizel sedikit mendengus menjawab pertanyaan Jeffrey. Sedangkan tangannya sibuk membolak-balik setiap lembar buku yang diambilnya dari rak koleksi buku Jeffrey. Tidak berniat membaca secara detail, Grizel hanya membaca judul besar dari setiap chapter buku itu.
Jeffrey tertawa kecil mendengar jawaban putrinya itu. "Bukankah kau selalu menyukai perjalanan dinasmu? Daddy dengar kau bahkan mengunjungi Museum Louvre berkali-kali saat bertugas di Paris." Jeffrey melihat sekilas kearah Grizel yang duduk disofa ruang kerjanya sebelum kembali sibuk pada kertas-kertas yang harus ia selesaikan secepat mungkin.
"Daddy memata-mataiku? Saat aku bertugas?" Tentu saja Grizel mencurigai Jeffrey saat ini. Tidak ada yang tau tentang profesinya sebagai agen rahasia CIA selain jeffrey. Tidak Yunha_ ibu asuhnya, apalagi Arthur sepupunya. Lantas dari siapa Jeffrey mendengar bahwa Grizel mendatangi Museum Louvre saat bertugas di Paris beberapa bulan lalu. Tepatnya sebelum ia ditugaskan di Itali dan baru kembali dua hari yang lalu.
"Kau mencurigai Daddy? Kau melupakan fakta bahwa Daddy-mu ini mengenal salah satu kurator di Louvre, Griz."
Ah, tentu saja Grizel lupa tentang teman ayahnya yang satu itu. Grizel lupa jika Jeffrey memiliki koneksi yang cukup luas. Grizel bahkan sempat mengobrol dengan Dalbert_ salah satu kurator The Louvre yang menjadi teman Jeffrey. Entahlah, Grizel juga tidak tahu bagaimana Jeffrey bisa mengenal Dalbert, atau mungkin Dalbert yang mengenal Jeffrey lebih dulu. Yang jelas, terasa menyenangkan bagi Grizel saat berbincang tentang seni bersama Dalbert.
"Apakah Daddy menceritakan tentang tujuanku ke Paris kepada Dalbert?"
"Bahkan Daddy masih menutup mulut didepan Mommy untukmu, Griz." Jeffrey menatap Grizel tidak percaya. Bagaimana bisa ia mengira bahwa Jeffrey dengan mudah mengatakan kepada orang lain tentang misi putrinya itu.
"Tapi tunggu, Griz. Tadi kau bilang apa? Dalbert? Wah.. Apakah kalian sudah sedekat itu? Terakhir kali saat kita bertemu Dalbert, kau masih memanggilnya Mr. Frankie." Jeffrey sedikit memicingkan matanya seolah-olah ia sedang mengintrogasi Grizel. Tidak lupa dengan senyum miringnya seperti meledek Grizel.
"Kau sedang meledekku, Dad? Aku hanya merasa bebas saat berbicara banyak tentang seni bersama Dalbert. Lagipula Dalbert orang yang cukup menyenangkan." Grizel mencoba membuat klarifikasi singkat untuk Jeffrey yang justru membuat Jeffrey meledakkan tawanya saat itu juga. Percayalah, muka Grizel saat ini sangat menggemaskan dimata Jeffrey.
Bagi Jeffrey, Grizel masihlah seperti gadis kecilnya yang manis. Grizel adalah putri kecilnya yang sudah beranjak dewasa. Waktu tidak akan pernah merubah fakta bahwa Grizel adalah putrinya. Alwasy have been and always will be.
Drtttt.... Drtttt
Getaran smartphone Grizel menghentikan tawa Jeffrey. Grizel menatap Jeffrey meminta izin menerima telpon yang masuk ke smartphonenya. Panggilan dari Emmeline adalah panggilan siaga satu untuk Grizel. Karena gadis itu tidak mungkin menghubungi Grizel jika tidak dalam keadaan darurat. Emmeline tau, Grizel tidak akan meladeninya jika Emmeline hanya mengganggu waktu gadis itu tanpa tujuan.
"Griz, ini penting. Bisa tiba dalam tiga puluh menit?" Suara Emmeline yang terdengar serius langsung terdengar oleh Grizel. Tepat pada saat Grizel menjawab panggilan telepon dari Emmeline.
ΠΠΠΠΠΠ
"Ladang ganja di Malaga-Spanyol terbakar habis dalam satu malam. Api diperkirakan menyebar sekitar pukul 02.00 pagi dan berhasil dipadamkan sekitar enam jam setelahnya, tepatnya sekitar pukul 08.00 pagi." Grizel mendengarkan Emmeline yang memulai rapat dadakan di markas mereka. Grizel benar-benar tiba dalam waktu tiga puluh menit seperti yang diminta Emmeline.
Bagi Grizel, waktu adalah suatu hal yang sangat berharga. Bahkan satu detik yang terlewati memiliki hitungan tersendiri untuk seorang agen rahasia seperti Grizel. Karena itulah Grizel bisa duduk diruangan ini bersama anggota timnya yang lain tepat waktu.
"Sebelumnya informan kita di Spanyol menangkap, bahwa ladang ganja ini mengimpor hasil panen mereka keluar dari Spanyol melalui jalur laut. Kapal-kapal mereka bergerak kearah Atlantik Utara dan diperkirakan menuju Meksiko. Tapi tidak ditemukan bukti kuat bahwa ganja-ganja itu benar-benar memasuki Meksiko sebelumnya." Emmeline menunjukkan beberapa gambar kapal-kapal melalui proyektor besar diruangan itu. Bisa Grizel tebak itu adalah kapal-kapal yang digunakan untuk membawa hasil panen dari ganja-ganja di Malaga. Ada dua kapal besar dan beberapa kapal kecil disekitarnya.
"Ken dan Harry turun tangan menyelidiki kapal-kapal ini untuk mengetahui tujuan pastinya. Tapi mereka tidak mengarah ke Cuba untuk masuk ke laut Meksiko. Dan ternyata kapal ini sering melintasi Atlantik Utara memasuki beberapa negara di United State secara acak. Belum ditemukan pola dalam operasi ini. Mereka juga pernah berlabuh di Pawleys Island beberapa bulan yang lalu. Namun bisa dipastikan kapal yang tertangkap kamera informan kita tidak berlabuh di Pawleys kali ini."
Sepertinya masalah kali ini berkaitan dengan gangster yang sering disebut sindikat mafia. Grizel sudah mulai menebak inti dari permasalahan yang sedang Emmeline bicarakan saat ini.
"Sebelum ladang ganja itu terbakar, informan di Malaga sempat menghubungi Margeon yang sialnya tidak ditanggapi oleh si brengsek itu." Emmeline menatap tajam laki-laki yang duduk tenang bersandar pada kursinya disamping Grizel saat ini.
"Wah.. Kau mengataiku brengsek hanya karena tidak mengangkat telepon dari informan kepercayaanmu itu, Em?" Margeon merasa sedikit tidak terima dengan ucapan Emmeline.
"Kalau bukan karena dia, kita tidak bisa mencium bau-bau ladang ganja di Malaga, Jeon!" Emmeline membalas sengit seolah-olah mereka adalah musuh dengan dendam yang terpendam dalam.
"Baiklah baiklah, anggap saja aku brengsek. Sesukamu Nyonya Emmeline Caldwell." Margeon merendahkan nada bicaranya dan kembali pada posisi duduknya semula. Dengan tangan dilipat dibawah dada dan punggung yang bersandar nyaman pada kursinya.
"Jika saja kau menjawab panggilannya, mungkin kita sudah mendapatakan informasi yang sangat berharga saat ini, Jeon!"
Grizel mendengus malas jika sudah berada diantara perdebatan Emmeline dan Margeon. Tentunya tidak akan berakhir sampai Margeon benar-benar memohon meminta maaf kepada Emmeline atas kesalahan yang menurut Margeon bukan ulahnya.
"Bisa tolong jelaskan terlebih dahulu masalah kali ini. Aku tidak bisa menangkap dengan benar jika kalian terus berdebat." Kali ini Grizel benar-benar tidak tahu tentang masalah ladang ganja dan informan yang dimaksud Emmeline. Dirinya baru saja kembali dari tugas di Itali dua hari yang lalu bersama Chris--sniper terbaik di tim mereka.
Emmeline mendengus kasar sebelum mengalihkan tatapan tajamnya dari Margeon kearah proyektor dihadapan mereka. "Informan yang tinggal disekitar ladang ganja itu menghubungi Jeon sekitar pukul 18.00 untuk pertama kalinya. Ada dua panggilan di jam 19.45 dan 20.00. Lalu panggilan beruntun dari pukul 12.00 sampai sekitar pukul 02.00 pagi, tepatnya sekitar waktu kobaran api dimulai."
Grizel mengarahkan tatapan tajamnya kearah Margeon yang duduk disampingnya. "Kau kemana malam itu, Jeon? Bukankah sudah kukatakan untuk tidak meletakkan telpon jauh dari jaungkauanmu?!" Desis Grizel sambil menendang pelan kaki kursi Margeon yang cukup membuat duduk laki-laki itu tersentak.
"Aku sedang mengawasi target pada saat itu Grizzie. Kau tau perbedaan waktu sembilan jam antara kita dan Spanyol. Sumpah aku tidak berbohong."
Jika Margeon bisa dengan sengitnya menatap tajam target mereka, maka ia bisa diibaratkan seperti anak kucing jika sudah berhadapan dengan Grizel. Entah mengapa tatapan tajam Grizel itu lebih menakutkan daripada mulut pedas Emmeline menurut Margeon. Padahal ia sudah hidup lama bersama Grizel. Mereka berada disekolah militer yang sama dan tidak sengaja berteman hingga saat ini.