Aroma mi instan bercampur dengan bau kertas-kertas fotokopian yang sedikit apek. Di sudut kamar kos berukuran tiga kali empat meter itu, Sarin Ginting menatap layar laptopnya dengan mata setengah terpejam. Kursor yang berkedip di halaman ke-73 skripsinya seolah mengejek, menari-nari di antara deretan kalimat yang mulai terlihat kabur. Sudah pukul sebelas malam di kota Medan, dan otaknya terasa seperti bubur. Beban di pundaknya bukan hanya soal lulus tepat waktu, tapi juga tentang nama baik ayahnya, seorang kepala desa yang dihormati. Ekspektasi dari kampung halaman terasa sampai ke kamar sempit ini.
Sebuah ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak. Hanya ada satu orang yang akan datang ke kosnya selarut ini tanpa pemberitahuan.
“Masuk, Jo. Nggak dikunci.”
Pintu berderit pelan dan sosok Jona muncul dari baliknya, membawa senyum hangat dan sebuah kantong plastik putih. Jona selalu begitu. Ia datang seperti angin sejuk di tengah hari yang terik, membawa kelegaan yang seharusnya tak pernah Sarin rasakan.
“Lagi kejar revisi, Nande Ginting?” sapanya, menggunakan panggilan sayang mereka. Ia meletakkan bungkusan itu di meja kecil di samping Sarin. Aroma martabak telur yang gurih langsung menguar, mengalahkan bau mi instan.
“Sudah pasti,” jawab Sarin sambil meregangkan punggungnya yang kaku. “Dosen pembimbingku itu sepertinya punya dendam pribadi dengan tanda baca. Setiap ketemu, pasti ada saja koma dan titik yang katanya salah tempat.”
Jona tertawa kecil. Ia menarik kursi kayu satu-satunya di kamar itu dan duduk menghadap Sarin. Matanya tak pernah lepas menatap gadis itu, tatapan yang sama seperti lima tahun lalu saat ia pertama kali memberanikan diri menyapa Sarin di gerbang sekolah SMP mereka di kampung. Tatapan yang lapar, yang memuja, yang kadang membuat Sarin sedikit takut.
“Makan dulu. Otakmu bisa kering kalau cuma diisi kafein sama mi instan,” kata Jona sambil membuka kotak martabak.
Sarin tersenyum tulus. Perhatian kecil seperti inilah yang membuatnya luluh, yang membuatnya lupa pada semua dinding yang seharusnya memisahkan mereka. Di kota ini, jauh dari mata para tetua adat di Lau Malir, mereka bisa menjadi Sarin dan Jona. Bukan Sarin Ginting dan Jona Ginting.
Sambil mengunyah potongan martabak, mereka terdiam sejenak. Hanya suara kipas angin tua yang berputar di sudut ruangan yang mengisi keheningan.
“Setelah wisuda, rencanamu apa, Rin?” tanya Jona tiba-tiba, memecah sunyi.
Sarin menelan kunyahannya. “Entahlah. Mungkin cari kerja di sini dulu. Aku tidak mau pulang ke kampung cepat-cepat.”