La Arus

Mer Deliani
Chapter #4

Bayang-Bayang Keraguan

Janji Jona malam itu seharusnya menjadi sauh bagi Sarin di tengah badai. Seharusnya menjadi pelukan hangat yang menenangkannya. Tapi dalam hari-hari berikutnya, janji itu terasa lebih seperti gema di ruangan kosong. Semakin sering ia memikirkannya, semakin hampa kedengarannya.

Jona tidak berubah menjadi monster. Dia tidak menghilang. Tapi dia berbeda.

Teleponnya masih diangkat, tapi panggilannya selalu singkat. “Lagi sibuk revisi, Rin,” atau “Nanti aku telepon lagi, ya, lagi di jalan,” menjadi alasan yang paling sering ia dengar. Pesan-pesan WhatsApp-nya yang dulu panjang dan penuh panggilan sayang kini berubah menjadi balasan satu-dua kata. “Iya,” “Oke,” “Nanti.”

Setiap kali Sarin mencoba menyinggung tentang “rencana mereka”, Jona selalu mengelak dengan lihai.

“Kita selesaikan dulu skripsi ini, ya. Fokus wisuda. Jangan pikirkan yang lain dulu,” katanya di telepon suatu sore, suaranya terdengar jauh dan lelah.

Sarin mencoba percaya. Ia mencoba mengerti. Mungkin Jona juga sama takutnya dengannya. Mungkin Jona butuh waktu untuk memproses semuanya. Tapi setiap pagi, saat gelombang mual itu kembali menyiksanya, kesabarannya terkikis. Janin di dalam rahimnya adalah bom waktu yang terus berdetak, sementara Jona bersikap seolah mereka punya waktu selamanya. Keraguan mulai merayap masuk ke dalam hatinya, dingin dan berbisa seperti ular.

Hari itu, keraguan itu akhirnya menemukan teman.

Sarin sedang berbaring di tempat tidurnya saat pintu kosnya diketuk keras. Bukan ketukan ragu-ragu Jona. Ini ketukan yang tegas dan tidak sabaran.

“Sarin! Buka pintunya!”

Sarin langsung mengenali suara itu. Dengan panik, ia bangkit dan membuka pintu. Di hadapannya berdiri Lidya, kakak perempuannya, dengan tatapan setajam elang. Kedatangannya membawa aroma kampung—campuran bau tanah basah setelah hujan dan sedikit wangi kopi sangrai yang selalu menempel di pakaiannya.

Lidya tidak tinggal di Medan. Ia adalah pemilik warung kopi sederhana di persimpangan jalan Desa Lau Malir, tempat para lelaki tua berkumpul setiap pagi. Ia adalah mata dan telinga orang tua mereka, duta tidak resmi yang dikirim sebulan sekali untuk memastikan putri bungsu kebanggaan keluarga itu tidak macam-macam di tanah rantau.

“Kak Lidya? Kok… kok di sini?”

“Memangnya aku tidak boleh mengunjungi adikku sendiri?” sahut Lidya, melangkah masuk tanpa diundang dan langsung meletakkan sebuah tas berisi rantang makanan di meja. “Ibu menitipkan rendang ini. Katanya kau ditelepon susah sekali, makanya Kakak nekat naik bus pagi-pagi buta untuk mengantarnya langsung.”

Sarin tersenyum canggung. “Maaf, Kak. Ponselku sering mode diam biar fokus skripsi.”

Lihat selengkapnya