Pertanyaan itu bukan lagi sebuah tuduhan, melainkan sebuah pisau bedah yang mengoyak pertahanan terakhir Sarin. Tak ada lagi ruang untuk mengelak. Di bawah tatapan mata kakaknya yang menghakimi, Sarin merasa seluruh dunianya runtuh menjadi serpihan debu.
Isak tangis yang tadinya tertahan kini meledak menjadi raungan keputusasaan. Ia mengangguk lemah, sebuah gerakan kecil yang terasa begitu berat seolah ia sedang menanggung beban seluruh dunia di lehernya.
“Iya, Kak… iya…” lirihnya di sela-sela tangis. “Maafkan aku, Kak… maaf…”
Lidya tidak memeluknya. Ia tidak menenangkannya. Ia hanya menarik tangannya dari genggaman Sarin, seolah baru saja menyentuh sesuatu yang kotor. Wajahnya yang tadinya tegang kini berubah menjadi topeng yang dingin dan tanpa ekspresi. Kemarahan ada di sana, Sarin bisa melihatnya berkobar di balik matanya yang gelap, tapi kemarahan itu terkunci rapat, membuatnya jauh lebih menakutkan daripada teriakan mana pun.
“Sudah berapa bulan?” tanya Lidya, suaranya datar dan tanpa emosi.
“Tiga…” jawab Sarin, nyaris tak terdengar.
Lidya menghela napas panjang, bukan desahan sedih, melainkan desahan seseorang yang sedang menghadapi masalah besar yang menjijikkan. Ia bangkit dari kursi dan mulai berjalan mondar-mandir di dalam kamar kos yang sempit itu, seperti seekor harimau yang terperangkap di dalam kandang.
“Aku tahu,” desisnya, lebih pada dirinya sendiri. “Aku tahu kalian berdua itu ada apa-apa. Jona… anak dari keluarga terpandang itu. Beraninya dia menyentuh adikku.”
Sarin hanya bisa menangis dalam diam, menatap punggung kakaknya yang tegang.
Tiba-tiba, Lidya berhenti berjalan dan berbalik menatapnya. “Dia tahu?”