La Arus

Mer Deliani
Chapter #6

Bicara

Tiga hari.

Sudah tiga hari berlalu sejak ancaman Lidya meninggalkan bekas luka dingin di hati Sarin. Tiga hari terasa seperti tiga tahun. Setiap detik adalah siksaan, setiap dering telepon adalah harapan palsu. Waktu satu minggu yang diberikan kakaknya terasa seperti hitungan mundur menuju eksekusi.

Sarin sudah mencoba menghubungi Jona. Tapi Jona yang ia temui di seberang telepon adalah Jona yang baru, Jona yang dingin dan menjaga jarak.

“Aku lagi di luar, Rin. Nanti aku telepon,” katanya kemarin, lalu tidak ada kabar lagi.

“Masih banyak urusan revisi. Dosenku galak,” katanya tadi pagi, memutus percakapan sebelum Sarin sempat mengatakan hal yang paling penting.

Sarin tahu Jona sedang menghindar. Pria yang dulu bisa berdiri berjam-jam di depan kosnya hanya untuk melihatnya sekilas, kini bahkan tak punya waktu lima menit untuk bicara. Kepanikan mulai menggerogoti Sarin. Ia tidak bisa menunggu lagi.

Dengan tangan gemetar, ia mengetik sebuah pesan singkat, tanpa basa-basi, tanpa panggilan sayang.

Kita harus bertemu. Sekarang. Penting. Aku tunggu di taman dekat danau kampus.

Hanya butuh satu menit hingga balasan masuk.

Oke.

Satu kata itu terasa begitu dingin, tapi setidaknya itu adalah sebuah persetujuan.

Danau buatan di sudut kampus sore itu tampak tenang. Beberapa mahasiswa duduk berkelompok di atas rumput, tertawa dan bercengkerama. Angin sepoi-sepoi menggoyangkan daun-daun pohon mahoni, menciptakan bayangan menari di atas tanah. Suasananya begitu damai, kontras sekali dengan badai yang berkecamuk di dalam dada Sarin.

Ia melihat Jona berjalan ke arahnya dari kejauhan. Langkahnya terlihat berat. Wajahnya kusut. Ia duduk di samping Sarin di bangku kayu yang menghadap ke danau, menjaga sedikit jarak di antara mereka.

“Ada apa?” tanya Jona langsung, nadanya datar.

Sarin menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar liar. “Kak Lidya datang tiga hari yang lalu.”

Lihat selengkapnya