Dua hari berikutnya berlalu seperti dalam mimpi buruk. Bagi Sarin, kamarnya yang sempit telah berubah menjadi sel penjara, dan ponselnya adalah sipir yang kejam. Benda itu tergeletak di atas meja, diam dan dingin, sebuah monumen bagi harapan yang sekarat.
Ia sudah mencoba menghubungi Jona puluhan kali. Panggilan pertamanya hanya berdering tanpa diangkat. Panggilan kedua dan ketiga juga sama. Panggilan keempat dan seterusnya langsung dialihkan ke kotak suara. Pesan-pesan WhatsApp yang ia kirim—awalnya penuh permohonan, lalu berubah menjadi penuh amarah—hanya menampilkan dua centang biru yang bisu, tanpa balasan.
Setiap centang biru itu terasa seperti sebuah tamparan. Jona membacanya. Ia tahu Sarin sedang panik. Ia tahu waktu mereka hampir habis. Dan ia memilih untuk diam.
Sarin tidak bisa makan. Setiap suap nasi terasa seperti pasir di mulutnya. Ia tidak bisa tidur. Setiap kali matanya terpejam, wajah Lidya yang dingin dan mengancam muncul, diiringi oleh detak jam yang menghitung mundur sisa waktunya. Satu hari lagi. Besok adalah hari ketujuh. Hari di mana Lidya akan mengambil alih masalah ini. Membayangkan kakaknya muncul di depan rumah orang tua Jona membuat perutnya melilit lebih parah daripada mual paginya.
Malam itu, di puncak keputusasaannya, Sarin memutuskan untuk mencoba satu kali lagi. Panggilan terakhir. Ia tidak lagi berharap. Ia hanya butuh kepastian, seburuk apa pun itu.
Dengan jari-jari yang terasa beku, ia menekan nomor Jona. Dering pertama. Sunyi. Dering kedua. Sunyi. Dering ketiga…
“Halo.”
Sarin tersentak kaget. Jantungnya seolah melompat ke tenggorokan. Jona mengangkatnya. Suara di seberang sana terdengar datar dan asing, seolah milik orang yang tak ia kenal.
“Jo… Jona?” bisik Sarin, suaranya serak.
“Iya. Kenapa?”
Tidak ada lagi “Nande Ginting”.
Tidak ada lagi nada hangat.
Hanya sebuah pertanyaan dingin.
“Kenapa kau tidak menjawab teleponku?” isak Sarin, tak mampu lagi menahan tangisnya.
“Aku hampir gila, Jo. Aku takut.”
“Aku sibuk,” jawab Jona singkat.
Terdengar suara musik samar-samar di latar belakang. Dia tidak sedang belajar. Dia sedang di luar.
“Sibuk?” ulang Sarin tak percaya.
“Waktu kita tinggal satu hari lagi dan kau sibuk? Besok Kak Lidya akan…”