Malam itu, Sarin seakan berhenti hidup.
Setelah Jona memutus panggilan, Sarin tetap dalam posisi yang sama di lantai kamarnya selama berjam-jam. Dinginnya keramik merambati tubuhnya, tapi ia tidak merasakannya. Dunianya telah menyempit menjadi gema dari empat kalimat kejam:
Tidak ada ‘kita’ lagi. Ini masalahmu.
Anggap saja aku tidak pernah ada.
Anggap anak itu juga tidak pernah ada.
Kata-kata itu menjadi mantra kutukan yang berputar tanpa henti di kepalanya. Ia tidak menangis lagi. Rasanya, semua air matanya sudah terkuras habis, meninggalkan gurun kekosongan di dalam jiwanya. Ia adalah sebuah cangkang. Sebuah wadah kosong yang dulu pernah berisi cinta dan harapan.
Fajar menyingsing tanpa ia sadari. Cahaya matahari pagi yang masuk dari celah jendela terasa seperti sebuah intrusi, terlalu terang untuk dunianya yang sudah gelap gulita. Ponselnya, yang tergeletak di lantai, mulai bergetar lagi. Panggilan masuk.
Dengan refleks, jantungnya berdebar ngeri. Lidya. Pasti kakaknya yang menagih janji. Hari ini adalah hari ketujuh. Hari penghakiman. Ia mengabaikan panggilan itu, membiarkannya bergetar hingga sunyi kembali.
Beberapa menit kemudian, ponsel itu berdering lagi. Sarin meraihnya dengan niat untuk mematikannya, tapi matanya terpaku pada nama yang tertera di layar.
Mama
Napas Sarin tercekat. Ini lebih buruk. Jauh lebih buruk daripada amarah Lidya. Ini adalah cinta tulus yang akan ia hancurkan. Dengan tangan yang gemetar hebat, lebih gemetar daripada saat ia memegang alat tes kehamilan, ia menggeser tombol hijau.
“Halo, Ma…” suaranya keluar seperti bisikan serak, nyaris tak terdengar.
“Sarin? Nakku?”