Perjalanan bus selama dua jam dari Medan ke Desa Lau Malir terasa seperti perjalanan melintasi dimensi lain. Sarin duduk di dekat jendela, namun ia tidak melihat hamparan perkebunan kelapa sawit atau desa-desa kecil yang mereka lewati. Tatapannya kosong, menembus kaca, melihat sebuah film bisu yang hanya berputar di kepalanya.
Ia melihat dirinya tertawa bersama Jona di taman kampus. Ia melihat tangannya gemetar saat membalik alat tes kehamilan. Ia mendengar suara dingin Jona di telepon, dan jeritan sunyi di dalam hatinya sendiri. Setiap kenangan adalah sebuah sayatan baru.
Bus ini tidak sedang membawanya pulang. Bus ini sedang mengantarnya ke akhir dari segalanya.
Ketika ia akhirnya turun di persimpangan jalan desanya, udara Lau Malir yang familier menyambutnya. Aroma tanah basah dan asap pembakaran sore hari. Untuk sesaat, ia merasa seperti mahasiswa normal yang pulang untuk melepas rindu. Sebuah ilusi yang indah dan menyakitkan.
Langkahnya terasa berat saat menyusuri jalan setapak menuju rumahnya. Dari kejauhan, ia bisa melihat ibunya sedang menyapu halaman depan. Saat ibunya mengangkat kepala dan melihatnya, sapu lidi di tangannya jatuh begitu saja.
“Sarin! Nakku!” pekik ibunya, setengah berlari menyambutnya dengan campuran rasa kaget dan bahagia yang meluap-luap. Ia langsung menarik Sarin ke dalam pelukan yang erat. “Ya Tuhan, Nak! Kenapa tidak bilang mau pulang? Kenapa kamu kurus sekali begini?!”
Sarin membalas pelukan itu, membenamkan wajahnya di bahu ibunya yang beraroma bumbu masak. Inilah kehangatan yang ia cari, kehangatan yang membuatnya merasa semakin bersalah. “Aku kangen sekali sama Mama,” bisiknya, suaranya parau.
“Kami juga kangen,” kata ibunya sambil melepas pelukan untuk menatap wajah putrinya. Matanya yang teduh memancarkan kekhawatiran. “Kamu pucat sekali. Kamu baik-baik saja di Medan?”
“Baik, Ma. Hanya lelah karena skripsi,” dusta Sarin. Itu sudah menjadi jawaban standarnya.
Saat mereka masuk ke dalam rumah, Sarin melihat ayahnya sedang duduk di kursi rotan kesayangannya di teras, membaca koran. Pak Ginting hanya menurunkan korannya sedikit, menatap putrinya dari atas kacamatanya. Ia tidak tersenyum, tapi dari sorot matanya yang sedikit melembut, Sarin tahu ayahnya senang ia pulang.
“Sudah pulang kam, Nak,” katanya singkat, suaranya berat dan tenang.