Malam itu, setelah Lidya pergi dari kamarnya, Sarin tidak lagi merasakan apa-apa. Amarah kakaknya, kekecewaan orang tuanya, pengkhianatan Jona—semua itu terasa seperti gema dari dunia lain. Pikirannya kini jernih dan tujuannya tunggal. Di tengah malam buta, saat napas seluruh penghuni rumah sudah teratur dalam tidur lelap, ia bangkit.
Dengan langkah seringan bulu, ia menyelinap ke kamar ibunya. Pintu lemari jati tua ia buka tanpa suara. Aroma kapur barus dan kain-kain tua yang familier menyambutnya. Tangannya, yang kini anehnya tidak lagi gemetar, meraih apa yang ia cari di tumpukan paling bawah. Sehelai kain panjang berwarna cokelat kusam. Kain gendongan. Ia memeluknya sekejap, merasakan sisa-sisa kehangatan ibunya di sana, sebelum kembali ke kamarnya.
Ia meletakkan surat alibi singkat di atas bantalnya, sebuah kebohongan terakhir untuk membeli waktu bagi kepergiannya. Lalu ia berbaring, menatap langit-langit kamarnya untuk terakhir kali, menunggu fajar.
Subuh datang dengan selimut kabut tipis yang dingin. Sarin melangkah keluar dari rumah saat ayam jantan pertama baru saja berkokok di kejauhan. Udara segar dan bersih Lau Malir mengisi paru-parunya. Ia berjalan menyusuri jalan setapak yang basah oleh embun, jalan yang sama yang dulu sering ia lewati sambil berlari riang saat masih kecil.
Ia tidak merasakan kesedihan lagi. Hanya sebuah kedamaian yang aneh. Ia melewati warung kopi Lidya yang masih gelap, melewati rumah-rumah tetangga yang masih terlelap. Ia adalah hantu yang berjalan di tengah desanya sendiri.
Tujuannya adalah kebun kopi di ujung desa. Di tepinya, berdiri sebatang pohon mangga yang rimbun, tempat ia dan Lidya sering bermain ayunan dulu, menggunakan tali dan ban mobil yang dimodif. Ia berhenti di bawah pohon itu. Cabangnya yang paling rendah dan paling kokoh seolah sudah menantinya.
Dengan gerakan yang tenang dan teratur, ia mulai mengikatkan kain cokelat itu ke dahan. Ia berdiri di atas dingklik kayu reyot yang ditinggalkan para pemetik buah. Ia memejamkan mata. Untuk terakhir kalinya, ia merasakan embun pagi yang dingin di kakinya dan mendengar suara serangga malam yang perlahan meredup. Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma tanah basah dan bunga kopi.
“Maafkan Ibu, Nak. Di dunia lain, kita akan punya cerita yang lebih bahagia.”
Angin yang tadinya berdesir lembut di antara daun-daun mangga, tiba-tiba berhenti. Hening.
Sehelai daun mangga yang kering jatuh dari rantingnya, berputar pelan di udara, sebelum mendarat tanpa suara di atas tanah yang basah.