La Arus

Mer Deliani
Chapter #11

Duka

Duka memiliki banyak wajah. Ada yang rapuh seperti kaca, ada pula yang mengeras menjadi baja. Di hari pemakaman Sarin Ginting, duka di rumah itu mengambil kedua bentuk tersebut.

Suasana di dalam rumah terasa berat dan menyesakkan, lebih sunyi daripada kuburan itu sendiri. Tidak ada raungan tangis histeris yang biasa terdengar di upacara duka. Adat, dalam kekejamannya yang sunyi, melarangnya. Aib harus dikubur dalam keheningan.

Ibu Sarin duduk di sudut ruangan, tubuhnya berguncang hebat dalam isak tangis tanpa suara, membekap mulutnya sendiri dengan selendang agar tidak ada satu pun jeritan yang lolos. Di sampingnya, Bapak Sarin berdiri kaku seperti patung, wajahnya sekeras batu, tatapannya kosong. Lidya bisa melihat urat di leher ayahnya yang menegang, satu-satunya tanda bahwa pria itu sedang menahan sebuah gunung agar tidak runtuh di dalam dirinya.

Lidya berdiri di antara mereka, namun jiwanya berada di tempat lain. Ia tidak lagi merasakan duka. Yang tersisa hanyalah ruang kosong yang dingin, dan di tengah-tengahnya, sebuah bara api mulai menyala.

Saatnya tiba. Peti mati kayu yang sederhana itu tidak diangkat menuju pintu depan yang terbuka lebar. Dengan isyarat singkat dari ayahnya, beberapa kerabat pria mengangkat peti itu dan dengan hati-hati mengeluarkannya lewat jendela samping.

Sebuah ritual bisu yang menandakan bahwa putrinya telah pergi melalui jalan yang tak wajar, memisahkannya dari tradisi bahkan dalam kematian. Suara gesekan kayu peti di kusen jendela terdengar seperti goresan di jiwa Lidya.

Sebelum peti ditutup untuk terakhir kalinya, seorang bibi tua maju dalam diam. Ia membuka lipatan tiga buah kain panjang dan meletakkannya dengan rapi di samping jenazah Sarin. Lidya melihatnya, namun otaknya tidak memproses makna di baliknya. Itu hanyalah satu lagi ritual aneh dalam mimpi buruk yang sedang ia jalani.

Pemakaman berlangsung cepat. Gundukan tanah merah itu ditutup kembali dalam keheningan yang khusyuk, hanya diiringi doa bersama yang lirih. Setiap gumpalan tanah yang dilemparkan ayahnya terasa seperti palu yang menempa kebencian di hati Lidya. Adiknya dikuburkan seperti ini, cepat, sunyi, seolah sebuah rahasia yang harus segera disembunyikan.

Malam harinya, rumah itu terasa semakin kosong. Makanan di meja makan tidak tersentuh. Keheningan yang tadinya berat kini terasa menindas. Akhirnya, ibunya yang memecah kebisuan itu, suaranya parau dan penuh kebingungan.

“Kenapa, Lidya? Kenapa adikmu melakukan ini? Apa salah kita sebagai orang tua?”

Lidya merasakan sebuah pisau tak terlihat menusuk jantungnya.

“Ini bukan salah Ibu atau Bapak. Jangan salahkan diri kalian.”

Ibunya hanya bisa menangis dalam diam. Ayahnya bangkit dari kursi dan berjalan ke teras, berdiri menatap kegelapan malam.

Melihat kehancuran orang tuanya yang buta akan kebenaran, Lidya tahu ia tidak bisa diam. Menghormati kekeluargaan berarti melindungi orang tuanya, dan saat ini, cara terbaik melindunginya adalah dengan memastikan orang yang bertanggung jawab atas semua ini membayar harganya.

Lihat selengkapnya