Malam itu, setelah Lidya pergi, Jona tidak bisa tidur. Kamarnya yang nyaman terasa seperti sebuah tungku yang membakarnya hidup-hidup. Ancaman dingin di mata Lidya jauh lebih menakutkan daripada bayangan para tetua adat. Lidya tidak akan bernegosiasi. Lidya tidak akan mengampuni. Ia adalah perwujudan dari rasa bersalah Jona yang menjadi nyata dan datang untuk menagih utang.
Ia sudah berada di rumah orang tuanya di Lau Malir selama beberapa hari, sebuah kebetulan yang kini terasa seperti kutukan. Ia pulang hanya karena rindu masakan ibunya, sama sekali tidak tahu bahwa Sarin juga pulang di waktu yang bersamaan. Lalu kabar kematian Sarin meledak seperti bom, dan Jona langsung mengunci diri. Ia tahu, entah bagaimana, ini akan berbalik padanya. Dan benar saja, Lidya datang.
Kini ia mondar-mandir di kamarnya, pikirannya berpacu mencari jalan keluar. Menghadapi Lidya terasa seperti bunuh diri. Mengaku pada orang tuanya lebih buruk lagi. Satu-satunya kata yang terus bergema di kepalanya adalah lari. Lari sejauh mungkin, ke tempat di mana bayangan Sarin dan amarah Lidya tidak akan bisa menjangkaunya.
Keesokan siangnya, di meja makan, ia memulai sandiwaranya. Wajahnya ia buat seserius mungkin.
“Pak, Bu. Ada kabar penting. Teman lama Jona di Batam kemarin menelepon. Dia menawarkan posisi manajer di perusahaannya. Gajinya… sangat besar.”
“Batam? Kau yakin mau pergi sekarang, Nak? Suasana kampung sedang berduka setelah kejadian Sarin, lagian kamu juga belum menyelesaikan kuliah.”
Jona langsung menggunakan umpan itu dengan licik.
“Aku butuh suasana baru untuk menenangkan pikiran, sambil memulai karier, Pak. Kuliah dan bimbingan bisa diatur, Pak.”
Kebohongan manipulatif itu bekerja dengan sempurna. Orang tuanya, yang sama sekali tidak tahu kebenarannya, melihat ini sebagai reaksi wajar dari seorang pemuda yang berduka karena kehilangan teman masa kecilnya. Mereka saling berpandangan, lalu ayahnya mengangguk pelan.
“Baiklah, Nak. Jika itu memang yang terbaik untukmu, pergilah. Bapak dan Ibu hanya bisa mendoakan.”
Empat hari setelah ultimatum Lidya, Jona mengeksekusi rencananya. Ia berkemas dan berangkat pagi-pagi buta. Dia sengaja mengambil keberangkatan pagi hari.
"Pak, Bu, Jona berangkat. Doakan berhasil.”
Sebelum keluar rumah, ia melakukan satu hal terakhir. Ia mengeluarkan kartu SIM dari ponselnya. Dengan sekali tekan, benda kecil itu patah menjadi dua. Ia melemparkannya ke tempat sampah. Sebuah tindakan final. Ia baru saja memutus jembatan terakhir menuju masa lalunya.
Saat mobil travel yang ia pesan, diam-diam melaju meninggalkan Lau Malir, ia melihat kampungnya yang semakin menjauh dari kaca jendela. Ada kilasan rasa bersalah, tapi perasaan yang lebih dominan adalah lega. Lega karena telah lolos.