Dua tahun kemudian,
Cukup panjang untuk mengubah duka menjadi keheningan yang membatu, namun terlalu singkat untuk melupakan sebuah sumpah. Di Desa Lau Malir, kehidupan seolah telah kembali normal. Ibu Sarin lebih sering mengurung diri di kamarnya, mencari ketenangan yang tak kunjung datang. Bapaknya semakin irit bicara, garis-garis di wajahnya menajam, seolah memikul beban yang tak terlihat.
Dan Lidya, ia tetap di sana, di warung kopinya di persimpangan jalan. Ia masih tertawa pada lelucon para pelanggannya, masih menyajikan kopi dengan senyum tipis. Tapi matanya telah berubah. Api yang dulu berkobar di sana kini telah menjadi bara yang tersembunyi di bawah lapisan abu yang dingin. Ia menjadi seorang pengamat, seorang penunggu. Setiap mobil asing yang masuk ke desa, setiap kabar dari tanah rantau, tak pernah luput dari perhatiannya.
Pagi itu, kesabarannya akhirnya membuahkan hasil. Ia sedang mengantarkan pesanan ke sebuah meja yang diisi oleh beberapa ibu-ibu, langganan setianya. Telinganya yang sudah terlatih untuk menangkap gosip, mendengar sebuah nama yang sudah dua tahun tidak ia sebut.
“Eh, Iting, sudah dengar kabar belum? Bentar lagi ada pesta pernikahan, sepertinya kita akan sibuk, beberapa hari ini.” kata seorang ibu pada temannya, menggunakan panggilan akrab untuk sesama wanita Karo.
Lidya berhenti sejenak, pura-pura membersihkan meja di dekat mereka. Jantungnya yang sudah lama tenang, kini mulai berdebar pelan.
“Oh, rencana pesta Jona, anak Pak Rusli, kan? Tahu aku itu, dia dijodohkan sama impal-nya, kan?" sahut ibu yang lain.
DEG.
Cangkir kopi di nampan yang dipegang Lidya bergetar pelan. Menikah. Jadi ini cara si pengecut itu kembali. Lidya menarik napas dalam-dalam, menenangkan tangannya yang gemetar. Ia berbalik ke arah dapur, wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun. Tapi di dalam hatinya, bara api yang selama ini ia jaga kini kembali berkobar.
***
Sebuah mobil sedan hitam mengkilap, yang terlihat terlalu mewah untuk jalanan Lau Malir yang berbatu, masuk perlahan ke desa. Mobil itu berhenti di depan rumah megah keluarga Jona. Lidya menyaksikannya, jantungnya berdebar dengan irama yang dingin dan berbahaya.
Pintu pengemudi terbuka. Jona melangkah keluar. Ia terlihat berbeda. Lebih gemuk sedikit, pakaiannya necis, rambutnya tersisir rapi. Ia tampak seperti orang kota yang sukses. Tapi matanya bergerak gelisah, memindai sekeliling, seolah takut ada hantu yang akan melompat keluar dari bayang-bayang.
Pintu penumpang terbuka. Seorang wanita muda yang sangat cantik melangkah keluar. Kulitnya putih bersih, rambutnya panjang tergerai, dan senyumnya cerah saat menatap sekeliling dengan penuh kekaguman. Inilah Risna. Ia tampak begitu lugu, begitu bahagia, sebuah simbol dari kehidupan baru yang berhasil Jona bangun di atas pengkhianatannya.
Melihat mereka berdua berdiri di sana, tertawa bersama orang tua Jona yang menyambut di teras, adalah sebuah pemandangan yang menyakitkan sekaligus memuakkan bagi Lidya.
Malam, setelah menutup warungnya, Lidya tidak langsung pulang. Ia duduk sendirian di dalam warung yang gelap. Ia tidak lagi gelisah. Wajahnya menunjukkan sebuah ketenangan yang mengerikan, ketenangan seseorang yang sudah tahu persis apa yang harus ia lakukan.
Ia membuka laci kasir yang tersembunyi di bawah meja. Dari dalamnya, ia mengeluarkan sebuah bungkusan kain kecil yang kusam. Ia membukanya. Di dalamnya ada sehelai daun sirih yang sudah kering dan menghitam, pemberian dari sang dukun dua tahun yang lalu. Sebuah pengingat dari perjanjiannya dengan kegelapan.