Tiga bulan berlalu dengan cepat di Lau Malir. Desa itu berdengung oleh energi persiapan pesta pernikahan termegah tahun itu. Jona Ginting, putra kebanggaan yang sukses di tanah rantau, akan mempersunting Risna Tarigan, gadis cantik yang menjadi buah bibir karena keanggunannya. Di permukaan, semua tampak sempurna.
Jona memainkan perannya dengan baik. Ia adalah calon suami yang penuh perhatian, layaknya calon pengantin baru. Ia telah mengubur masa lalunya dalam-dalam. Nama Sarin tidak pernah lagi terucap dari bibirnya, bahkan di dalam benaknya sendiri. Ia telah berhasil meyakinkan dirinya bahwa tragedi dua tahun lalu adalah sebuah mimpi buruk yang telah usai.
Di tengah semua keriaan itu, Lidya adalah bayangan yang bergerak dalam diam. Ia menjalankan warung kopinya, tersenyum pada para pelanggan yang membicarakan pesta Jona, bahkan menerima pesanan kopi dalam jumlah besar untuk acara-acara pra-nikah. Ia berpapasan dengan orang tua Jona di pasar dan memberi selamat dengan nada ramah.
“Selamat ya, Tante. Sebentar lagi punya menantu cantik,”
Tidak ada yang curiga. Tidak ada yang bisa melihat api hitam yang menyala di balik tatapannya yang tenang. Ia mengamati, ia menunggu, ia mempelajari setiap gerak-gerik Jona dari kejauhan.
Kesempatan itu akhirnya datang dua minggu sebelum hari pernikahan, di acara runggu di rumah Jona. Rumah itu penuh sesak oleh kerabat. Lidya datang membawakan cimpa, memainkan perannya sebagai anak beru.
Ia melihat Jona di ruang tamu, tertawa dan bercengkrama. Udara yang panas membuatnya berkeringat. Ia mengeluarkan sebuah sapu tangan dari sakunya untuk menyeka dahi. Lidya memperhatikannya lekat-lekat.
Dengan nampan berisi gelas-gelas teh di tangannya, Lidya mendekati kerumunan itu. Jona tampak sedikit canggung.
“Eh, iya, Kak Lidya. Terima kasih.”
Setelah menyapa beberapa tamu lagi, Jona meletakkan sapu tangannya yang sudah lembap di atas sebuah meja kecil di sudut ruangan, lalu beranjak untuk memberi salam kepada tamu yang baru datang.
Itulah momen yang ditunggu Lidya. Saat perhatian semua orang teralihkan, ia berjalan ke arah meja itu, berpura-pura hendak mengambil gelas kosong. Dalam satu gerakan cepat yang terlatih, tangannya menyambar sapu tangan itu dan memasukkannya ke dalam sakunya.
Malam itu juga, ia kembali mengendarai motornya ke gubuk Nini. Ia menyerahkan sapu tangan itu tanpa banyak bicara.
Sang dukun menerimanya, membauinya sejenak.