La Arus

Mer Deliani
Chapter #15

Bungkam

Sembilan hari.

Hanya dalam rentang waktu yang singkat itu, rumah tangga yang didirikan Jona di bawah tudung adat berubah menjadi palungan penyakit. Ruam merah di tangan Jona, yang semula disangka gigitan serangga, kini telah bermetamorfosis menjadi hukuman yang hidup dan berdenyut.

Penyakit itu menyebar dengan kekejaman yang disengaja, mencabik kulit Jona dari leher hingga kaki. Luka-luka melepuh, pecah, dan mengeluarkan cairan kental berbau amis yang melekat di seluruh ruangan. Kamar pengantin mereka, yang seharusnya menjadi saksi janji suci, kini diubah paksa menjadi ruang isolasi yang gelap, lembap, dan beraroma kematian.

Keluarga besar jadi kelabakan. Mereka mengerahkan segala upaya mulai dari tabib dari desa sebelah, dokter ternama, hingga seorang dukun yang didatangkan dari luar Lau Malir. Hasilnya selalu membawa Jona kembali ke titik nol. Secara medis, ia hanya menderita penyakit kulit yang agresif. Secara spiritual, ia adalah korban ilmu hitam yang terkunci.

Jona, dalam kesunyian yang mengerikan, tidak lagi membutuhkan diagnosa. Setelah dukun terakhir berbisik tentang "dendam yang amat kuat" dari seseorang yang ia sakiti, ingatan Jona melayang liar. Ia teringat tatapan Lidya di pesta pernikahannya—tatapan dingin, tajam, dan penuh janji. Jona sadar, ini bukan hanya Sumbang yang menuntut bayaran, melainkan darah Sarin yang menuntut balasan. Dan ia, sang pengecut abadi, tahu ia pantas menerima setiap detik penderitaan itu.

Penderitaan fisik Jona begitu nyata, tetapi siksaan psikologisnya jauh lebih merusak. Ia tahu Lidya adalah dalangnya, tetapi rasa takut dan aib adalah tembok yang tak bisa ia robohkan. Mengungkap perbuatan Lidya berarti harus membuka kembali kubur aib Sumbang yang ia coba kubur dengan pernikahan ini. Itu berarti menyeret nama baik ayahnya, sang kepala desa yang terhormat.

Maka, Jona memilih bungkam.

Penyakit itu sendiri, seolah memiliki kecerdasan jahat, membuatnya terperangkap. Setiap kali angin merayap masuk dari celah jendela, luka-luka di tubuhnya terasa seperti disayat seribu belati es. Sinar matahari, walau secercah, terasa membakar kulitnya. Ia terikat, dipaksa meringkuk di kasur, dibalut perban yang terus basah oleh cairan tubuhnya sendiri—sebuah penderitaan yang melarangnya melarikan diri.

Lihat selengkapnya