La Arus

Mer Deliani
Chapter #16

Kematian

Jona nyaris tidak sadar. Ia meringis di atas kasur, tenggelam dalam mimpi buruk yang terbuat dari rasa sakit dan bau luka. Risna, lelah secara fisik dan batin, baru terlelap di kursi rotan sudut kamar menjelang subuh, tetapi ia terbangun oleh bisik-bisik yang tidak biasa di ruang depan menjelang siang.

Pagi itu, kabar tentang kondisi Jona telah menyebar dari warung kopi ke seluruh Lau Malir. Lidya, yang selama ini menjaga jarak, mendengar sendiri gosip itu saat membeli kopi dan sayuran untuk warungnya.

"Anak muda itu sudah sekarat, Lidya," bisik salah seorang ibu, matanya dipenuhi iba.

"Luka-lukanya makin parah. Badannya sudah tak berselera makan apa-apa, hanya meminum air gula agar tidak pingsan. Kalau tidak segera diobati dengan benar, ia akan mati karena kelaparan dan penyakitnya sendiri. Kasihan Risna."

Lidya mendengarkan, mencampurkan gula ke dalam kopinya. Hatinya dingin, tetapi ia merasakan getaran aneh. Ia telah memesan penyiksaan dan pembalasan atas aib Sarin, bukan kematian yang cepat. Mendengar bahwa Jona sudah terlalu dekat dengan akhir hayatnya, Lidya merasa dendamnya sudah cukup terbalaskan. Jona telah membayar harga yang amat mahal, harga yang bahkan hampir setara dengan kehormatan yang hilang.

Pada hari itu, tradisi adat Lau Malir mengambil alih. Kondisi Jona yang kritis memicu kerelaan hati. Beberapa ibu-ibu desa, termasuk Ibu Lidya, sepakat untuk menjenguk. Ndahi kalak sakit—mengunjungi orang sakit. Mereka membawa perakan beras, gula, atau bahan makanan lainnya, sebagai simbol doa dan harapan agar penyakit itu segera menjauh.

Lidya mengambil keputusan. Ia harus memastikan Jona benar-benar sudah di ambang batas.

Risna berdiri di ambang pintu kamar. Wajahnya yang pucat tersentuh haru melihat rombongan ibu-ibu desa itu—sekitar enam orang— di ruang tamu kecil rumah mereka. Di antara mereka, berdiri Ibu Lidya, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tulus, dan Lidya, dengan ekspresi datar dan tenang.

"Ini beras piher kami bawa untuk mendoakan Jona, Nak. Ini sudah adat kita, membawa beras sebagai simbol keberkahan. Semoga lekas sembuh," ujar Ibu Lidya lembut, menyerahkan bingkisan beras.

"Terima kasih, Bi. Aku tidak tahu harus bagaimana, Bi," ujar Risna, suaranya tercekat. Ia mempersilakan para ibu melihat keadaaan Jona dari pintu kamar.

Jona, yang kini hanya dibalut kain tipis dan perban, meringkuk di tempat tidur. Bau obat dan luka yang tertahan segera menyambut para tamu. Mereka semua mendekat, mengucapkan kata-kata penyemangat dalam bahasa Karo, tetapi menjaga jarak. Rasa iba bercampur takut terlihat jelas di mata mereka.

Lihat selengkapnya