La Arus

Mer Deliani
Chapter #17

Karma

Pagi hari di Lau Malir datang dengan ketenangan yang menipu. Kabut tipis menggantung di antara pohon kopi dan atap rumah yang berlumut, seolah alam tengah menutup mata atas tragedi yang baru saja terjadi semalam. Dari kejauhan, suara ayam jantan memecah udara, lalu senyap kembali seperti tidak pernah ada kehidupan.

Lidya bangun lebih awal dari biasanya. Setelah berbulan-bulan dilanda mimpi buruk dan perasaan gelisah, pagi itu terasa... ringan. Warungnya, yang biasanya ia buka dengan langkah berat, kini ia siapkan dengan hati yang entah mengapa terasa lega. Di wajahnya terselip sesuatu yang jarang muncul—sebuah senyum kecil, samar, yang lebih menyerupai kepuasan daripada kebahagiaan.

Malam tadi, ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri kehancuran Jona. Ia melihat lelaki itu terpuruk, tubuhnya gemetar di bawah cahaya redup lampu minyak, kulitnya memucat seperti abu. Lidya tidak perlu menunggu lama; dendam yang ia semai dengan sabar akhirnya berbuah. Ia telah menonton kejatuhan orang yang menghancurkan keluarganya, dan kini—setelah sekian lama—batinnya merasa tenang, meski itu hanyalah ketenangan yang dibeli dengan dosa.

Di tengah kesibukannya menata toples-toples berisi roti dan kue, suara langkah ibunya terdengar dari dalam rumah. Perempuan tua itu muncul dengan kain sarung di-abit-kan. Wajahnya pucat, matanya sembab, seperti seseorang yang baru selesai menangis semalaman.

“Jona meninggal, Lidya,” katanya pelan, nyaris berbisik.

Udara di sekitar mereka seolah membeku. Lidya tidak menjawab segera; hanya diam, menatap lantai papan yang berderit di bawah kakinya. Ia sudah menduganya. Tapi mendengar kabar itu langsung dari bibir ibunya membuat sesuatu dalam dirinya bergetar—bukan karena terkejut, melainkan karena kepuasan yang dingin.

“Kapan, Bu?” tanyanya datar.

“Dini hari tadi. Risna yang menjerit. Katanya napasnya tiba-tiba berhenti. Tidak sempat ditolong. Aneh sekali, Lidya. Cepat betul...”

Lidya menghela napas, pura-pura tertegun.

“Itu sudah kehendak Tuhan, Bu. Kasihan Risna.”

Namun di balik topeng kesedihan itu, Lidya merasakan kemenangan yang mutlak. Dendamnya telah berhasil. Sarin, saudara perempuannya yang mati dengan penuh aib, kini bisa beristirahat tenang. Jona, lelaki pengecut yang menghancurkan kehormatan keluarganya, telah menerima ganjaran yang setimpal.

Dan pagi itu, di antara bau arang dan kopi hitam dari dapur, Lidya merasa dunia akhirnya berpihak padanya—walau hanya untuk sesaat.

Lihat selengkapnya