Lidya berlari menembus malam yang gelap, selendang menutupi kepalanya, napasnya terengah-engah. Setiap langkahnya seperti ditarik ke tanah berlumpur. Di punggung tangannya, ruam merah itu telah menjalar hingga ke lengan, membara seperti api yang tak terlihat. Urat-urat di bawah kulitnya menegang dan berdenyut, seolah ada darah mendidih yang berusaha keluar.
Ia harus mencapai rumah Nini. Hanya perempuan tua itu yang bisa menolongnya, satu-satunya yang tahu cara menarik kutukan itu kembali sebelum semuanya terlambat.
Namun ketika Lidya tiba di gubuk reyot di tepi hutan, pintu kayu di depannya terkunci rapat. Ia menggedor keras, berulang kali, hingga buku jarinya berdarah.
“Nini! Nini! Kumohon! Kutukan itu! Dia sudah mati, Nini!” teriaknya, suaranya pecah di antara desah angin malam.
Dari dalam terdengar suara berat, serak, seperti datang dari perut bumi.
“Sudah kubilang, Lidya,” suara Nini bergema, dingin.
“Tidak! Tolong aku, Nini!
“Aku tidak bisa menolongmu lagi. Pagar gaibmu sudah runtuh karena niatmu telah terwujud.”
Kata-kata itu menampar Lidya lebih keras daripada cambuk apa pun. Ia jatuh terduduk di tanah lembap, menangis histeris di antara daun-daun kering yang berdesir. Tubuhnya menggigil, bukan karena angin malam, tapi karena ketakutan yang menembus tulang.
Rasa puas dan kemenangan yang semalam terasa manis kini lenyap sepenuhnya. Yang tersisa hanya rasa hampa, ketakutan, dan kesadaran pahit bahwa dirinya telah ditinggalkan oleh manusia dan makhluk gaib sekaligus.
Lidya bangkit dengan susah payah. Air mata, keringat, dan darah bercampur di wajahnya. Ia berjalan pulang dalam gelap, seolah tersesat di dunia yang menolak dirinya.
Setibanya di rumah, Lidya langsung mengurung diri di kamarnya. Ia mencoba mengoleskan ramuan herbal seadanya, menutup luka dengan kain, namun kulitnya terus melepuh. Setiap malam, tubuhnya panas seperti dirajam dari dalam.
Dalam dua hari, penyakit itu berkembang lebih cepat dari apa pun yang dialami Jona. Ia tahu, kutukan yang berbalik selalu lebih ganas dari kutukan yang dikirim.
Ibunya, yang tak mengerti apa-apa, merawatnya dengan cemas.
“Nak, kenapa tubuhmu seperti ini? Baru kemarin Jona meninggal, sekarang kau juga jatuh sakit?”
“Aku hanya...merasa sakit, mungkin penyakitnya menular.”