Kami tiba di Lau Malir menjelang sore, ketika kabut mulai turun dari perbukitan dan menelan jalan setapak yang membelah sawah. Angin membawa bau lembap—perpaduan tanah, jerami, dan kenangan yang belum sepenuhnya mati.
Diana duduk di sampingku di dalam mobil sewaan yang kami gunakan. Tak ada percakapan berarti di sepanjang perjalanan. Hanya suara mesin dan sesekali lolongan anjing dari kejauhan.
Aku sudah tahu sejak awal, perjalanan ini bukan sekadar pengambilan barang. Ini adalah perjalanan mengungkap kebenaran.
Ibu Jona menyambut kami dengan wajah kelelahan yang ramah, tidak menyangka kami akan datang secepat ini.
“Oh, Risna tak ikut?” tanya beliau sambil mempersilakan kami masuk.
Aku menatap Diana sekilas sebelum menjawab,
“Tidak, Bik. Kak Risna masih lemah. Kami hanya ingin mengambil beberapa pakaian dan barang yang tertinggal.”
Ibu Jona mengangguk tanpa curiga. Ia mempersilahkan kami masuk ke kamar yang pernah ditempati Jona dan Risna.
Lemari kayu di sudut kamar masih berisi pakaian yang terlipat rapi. Diana mulai mengeluarkan beberapa baju Risna yang masih tersisa. Saat itulah ia tiba-tiba terdiam, wajahnya menegang.
“Ih, bau banget!!” suara Diana lirih sambil melemparkan sesuatu ke arahku.
Itu sehelai sapu tangan kusut berwarna pudar. Dari kain itu keluar bau busuk, seperti bangkai bunga yang membusuk di tanah basah.
Aku segera membuka kampil dari dalam tasku, mengeluarkan kantong plastik kecil, dan membungkus sapu tangan itu dengan hati-hati.
“Benda ini masih hidup.” kataku pada Diana.
Aku menatap sapu tangan itu lama. Aura hitam berputar halus di sekelilingnya.
Aku tahu benda ini pernah berada di tangan pengirimnya.
Beberapa menit kemudian, aku merasakan gambaran samar—seorang wanita berdiri di kamar yang sama ini, menyelipkan sapu tangan itu di bawah kasur Jona, tepat di sisi yang berdekatan dengan pintu.
Sebelum pergi, wanita itu membisikkan sesuatu—
Manusia hanya pura-pura berubah.
Bisikan itu menggema di benakku, lembut tapi tajam seperti belati.
Keesokan paginya, Ibu Jona mengajak Diana dan aku ke kebun jeruk milik keluarga.
“Bibi mau mengambil jeruk untuk oleh-oleh.”