Kabut di kaki bukit Lau Malir turun seperti tirai lembut yang menelan jalan setapak. Diana mengendarai sepeda motor pelan-pelan; ranting-ranting basah menyapu kaki kami setiap kali melewati tikungan sempit.
Aku memeluk kampilku erat, di dalamnya tersimpan sapu tangan Lidya, benda yang seolah masih berdenyut halus, seperti menyimpan sisa napas dari kutukan yang belum sirna.
“Kita sudah dekat,” kataku, menatap samar sosok rumah di antara kabut.
Rumah Nini muncul perlahan, gelap dan sederhana, berdinding papan tua yang sebagian ditumbuhi lumut. Tapi bukan rumah yang menyeramkan—ada aura kuat tapi tenang di sekitarnya, seperti tempat yang sudah lama berdamai dengan rahasia dunia lain.
Nini menunggu di depan pintu.
Tubuhnya kurus, rambutnya putih kusut, matanya tajam dan jernih. Ia menatap kami lama, lalu berkata datar,
“Kau membawa sesuatu yang pernah kukirim.”
Aku mengangguk dan memperlihatkan sapu tangan itu.
Tanpa gentar, Nini membukanya sedikit, mengendus, lalu menatap ke langit.
“Ini barang yang seharusnya sudah lama dibuang. Aku tahu aroma ini. Ia datang kepadaku dengan hati yang terbakar, tapi lupa bahwa api juga bisa memakan dirinya sendiri.”
Ia menghela napas berat, lalu mempersilakan kami masuk.
Di dalam rumah, aroma rempah dan asap kemenyan menyambut kami. Rak kayu di dinding penuh botol berisi cairan berwarna, akar kering, dan gulungan kain kuning.
Nini duduk bersila di tikar pandan. Suaranya mantap, tidak terguncang sedikit pun.
“Kalian datang pada waktu yang tepat. Sisa energi kutuk ini masih berputar di sekitar Lau Malir. Jika tidak segera dipadamkan, anak-anak di desa ini akan lahir dengan garis nasib yang berat.”
Aku dan Diana saling berpandangan.
“Nini akan menghapusnya?” tanyaku.
“Aku yang membuka pintu itu. Jadi aku pula yang harus menutupnya.”
Nini menyalakan tungku tanah liat dan membakar sapu tangan itu. Lalu, abu hitamnya ditabur ke dalam wadah berisi air garam, lalu menambahkan tiga lembar daun sirih yang paling lebar.
Ia menggumamkan mantra pelan, suaranya rendah tapi jelas—setiap suku katanya terasa seperti bergema dari dalam tanah.
Asap tipis naik, berputar seperti helai kabut mini di dalam ruangan.
Ketika asap itu mulai menipis, Nini menatap kami.
“Sudah. Kutuk itu telah hilang. Lidya bukan lagi pengirim. Jona bukan lagi penerima. Mereka berdua sudah saling melunasi di dunia sana.”
Aku menghela napas panjang. Beban yang selama ini terasa menekan dada seakan ikut menguap bersama asap itu.