Pagi itu matahari muncul perlahan di balik kabut kebun kopi. Embun menetes dari daun-daun jeruk, dan udara membawa aroma tanah yang baru disiram cahaya. Aku dan Diana sudah bersiap sejak fajar.
“Kalian pulang pagi sekali, Nak?” tanya Ibu Jona.
“Ya, Bik. Kami harus kembali ke Medan.” jawab Diana lembut.
Kami tidak menceritakan apa pun padanya, tentang Nini, tentang Lidya, atau tentang apa yang kami temukan di balik kebun. Semua itu kini bukan milikku untuk disampaikan. Kami sudah menyerahkan kebenaran itu kepada Ibu Lidya. Biarlah dia yang memutuskan apakah Ibu Jona perlu tahu. Ada kebenaran yang tidak semua orang siap mendengarnya. Sebelum berangkat, Ibu Jona memberikan kami dua kantong jeruk dari kebun.
“Berikan satu untuk Risna, ya. Bibi titip salam.”
“Terima kasih, Bik. Semoga damai kembali ke rumah ini.”
***
Perjalanan dari Lau Malir menuju Medan seperti keluar dari dunia lain. Kabut perlahan menghilang di belakang kami, digantikan deru kendaraan dan hiruk-pikuk kota yang menyambut dengan warna dan cahaya. Kami tiba di rumah Risna menjelang siang. Ia menunggu di depan rumah, mengenakan daster dan selendang lembut di bahu. Wajahnya menampakkan kelelahan yang panjang, tapi juga secercah harapan.
“Kalian sudah kembali, bagaimana?” katanya, suaranya bergetar.
Aku menatap Diana, memberi isyarat. Aku mengeluarkan lilin kecil berwarna kuning dari kampil-ku. Kami menaruhnya di atas piring logam, menyalakannya, dan membiarkan cahayanya menari lembut di antara kami.
“Dengar, selama lilin ini menyala, jangan biarkan api itu padam sebelum waktunya. Dan ketika Kakak sudah bisa menerima semuanya, baru tiupkan perlahan. Jika lilin ini padam sendiri... kita tidak tahu apa yang akan kembali.”
Risna menelan ludah, lalu mengangguk pelan. Aku mulai bercerita dari awal, perlahan, seperti membuka satu demi satu lapisan masa lalu yang beku.
Tentang Sarin, gadis pertama yang mencintai Jona dan mengandung anaknya dalam diam. Tentang pengkhianatan Jona. Tentang Lidya yang marah, tentang sapu tangan Jona yang dikirimkan pada Nini, dan tentang bagaimana ilmu hitam yang seharusnya menyiksa akhirnya berbalik, membunuh dua jiwa sekaligus.
Setiap kalimat yang keluar dariku terasa berat. Diana duduk di sebelah Risna, menggenggam tangannya. Risna mendengarkan dengan tubuh bergetar, air matanya mengalir tanpa suara. Kadang ia menutup mulut, kadang menunduk terlalu lama.
“Jadi... Jona... menyakiti Sarin?”