La Ba'sa

Restu syndi yani
Chapter #9

Chapter #9

Setelah beberapa tahun berlalu sejak lulus dari SDN Bandarsari 2, aku semakin sibuk membantu ayah di ladang. Masa-masa bermain di lapangan sekolah terasa begitu jauh, kini aku lebih sering berada di tengah sawah, membantu ayah membajak, menanam bibit padi, hingga akhirnya memanen hasil kerja keras kami.

Panas matahari yang semakin terik, tak menyurutkan semangat para petani yang berada di tengah sawah. Mereka bekerja dengan gigih, tanpa mengeluh sedikitpun, walau keringat membasahi tubuh mereka. Itu semua mereka lakukan untuk menafkahi keluarga masing-masing.

Sebanyak apapun kegiatan, kami tetap melakukan kewajiban shalat, sebagai kebutuhan seorang hamba pada Tuhannya. Semua petani yang bekerja, selalu membawa pakaian bersih dan baik untuk shalat. Di tengah hamparan ladang sawah yang luas, terdapat saung khusus untuk kami bersujud menghamba pada Tuhan sang pemilik alam semesta. Ayahku selalu menjadi imam shalat kami.

Ayahku mungkin miskin akan harta, namun tidak dengan ilmu dan agama, sehingga aku banyak belajar darinya. Ladang yang kami urus itu bukan milik ayah, melainkan milik kakek. Aku ikut ayah bekerja di sana untuk membantunya. Saat ini ayah butuh biaya yang cukup banyak untuk kak Hammani, karena sebentar lagi ia akan wisuda.

Namun, kemungkinan besar kami sekeluarga tak bisa hadir dan hanya mampu mengirimkan uang saja. Jarak yang jauh serta biaya perjalanan yang cukup banyak, membuat kami tidak bisa menghadiri wisuda kak Hammani.

Cahaya jingga matahari senja, begitu indah memancar, menyinari para petani. Tanda bagi mereka bahwa hari telah sore dan waktunya untuk pulang. Aku dan ayah ikut serta dengan mereka. Di perjalan pulang, aku memikirkan tentang bagaimana aku melanjutkan sekolah.

“Ayah Anan ingin lanjut sekolah,” kataku pada ayah yang berjalan di sampingku.

“Kalau Anan ingin lanjut sekolah, Ayah setuju. Kamu masuk sekolah ke MTS saja, Ayah sukanya kamu sekolah pakai celana panjang dan berpeci, Ayah kurang suka kalau kamu di sekolah lain dengan pakaian seragam sekolah celana pendek,” kata ayah sambil memberiku saran

“Anan, tapi Ayah tidak punya uang untuk menyekolahkanmu Nak. Untuk kakakmu saja, Ayah hanya ada uang pas-pasan. Jadi kalau kamu ingin lanjut sekolah, harus berusaha lebih,” sambung Ayah dengan nada sedih.

Aku menelan salivarku, rasanya berat untuk menerima sebuah kenyataan yang harus aku jalani.

“Baik Ayah, Aku akan berusaha untuk bisa melanjutkan pendidikanku.”

Malam harinya, aku mengambil celengan, membongkar isinya dan menghitung uang yang aku tabung atas hasil jerih payahku berjualan selama ini. Alhamdulillah jumlah uang yang terkumpul lumayan banyak, cukup untuk daftar sekolah dan untuk membeli seragam baru.

Lihat selengkapnya