Satu tahun telah berlalu, namun kembalimu tak kunjung kudapati di pintu yang selalu terbuka ini. Tak terasa waktu bergulir sangat cepat dalam hitungan yang setiap hari malah terasa menyakitkan bagiku.
Pada saat-saat senggang, aku mengunjungi berbagai tempat yang pernah kita singgahi bersama dulu. Aku bahkan mengingat detail percakapan yang membuat hatiku sesak di tempat itu. Tanpa kuduga, air mata telah deras melewati pipiku. Aku membiarkan itu luruh begitu saja tanpa mau mengelapnya sama sekali, membiarkan rasa rindu bercampur perih itu runtuh dan mengering dengan sendirinya.
Aku tahu, penantian tak akan membuatmu kembali berlari ke belakang dan memelukku. Meski berteriak sekalipun, jika dirimu telah berlabuh pada hati pilihanmu, segalanya akan jadi percuma. Lantas, aku hanya diam di tempat ini, menikmati penantian yang tak kunjung terbalaskan. Sendiri dalam sepi tanpa menerima siapapun lagi untuk memiliki hati. Berharap suatu saat nanti kita dipertemukan di waktu yang tepat dan saling mencintai tanpa harus berpisah lagi.
Meskipun, kita dulu adalah sepasang luka yang dipaksa bersama, aku yakin jika Tuhan memberi kita kesempatan untuk bersama kedua kalinya.
Kita adalah sepasang luka yang berusaha menyembuhkannya bersama-sama.
22 Maret, 2018.
Sebuah catatan itu kutemukan di dalam kotak bergembok. Catatan yang aku tulis hampir 4 tahun yang lalu. Catatan penuh luka dan masih menyiratkan cinta. Tak ada lagi tangis mengingatnya, aku hanya diam termangu dalam kebisuan yang panjang. Kemudian, secara otomatis waktu menyeret jiwaku pada masa lalu yang masih saat ini diam-diam kurindukan.
.......
Aku di tahun 2015
Aku membentuk sebuah persegi panjang dengan jemariku dan menjadikannya objek yang tengah kupindai. Di lantai dua gedung fakultas bahasa, diam-diam aku memperhatikannya. Pemuda yang dikagumi banyak orang karena prestasinya yang segudang selalu mengharumkan nama kampus. Di bawah sana, dia terlihat sedang berbincang dengan rekannya. Memakai pakaian dinas harian unit kegiatan mahasiswa majalah dinding atau biasa disebut Mading.
Layaknya mentari, senyumnya memancarkan sinar yang menghangatkan hatiku. Matanya yang cerah, hidung bangir indah, alis tebal dan bentuk wajah yang sempurna membuatku betah memandangnya berlama-lama. Entah sudah berapa lama aku menganguminya tanpa henti. Yang pasti rasanya tak berkurang sama sekali. Cara dia berbicara, cara dia tersenyum, dan cara dia menatap membuatku lupa pada kenyataan bahwa hubungan kami hanyalah sebagai rekan organisasi. Dia ketua umum yang tegas sementara aku staffnya yang sering melanggar aturan.
"Lihatin siapa lo?" Pergok Monica, sahabatku semenjak kuliah.
Aku terlonjak kaget. Kedatangan Monica hampir saja membuatku jatuh ke lantai dasar bila tanganku tak erat berpegangan pada pagar pembatas. “Gak lihatin siapa-siapa.” Aku memalingkan wajah, takut ketahuan sedang memperhatikan lelaki itu.
Meski aku menutupinya, Monica selalu tahu. Ia memasang wajah mengejek dengan lengkungan bibir ke bawah. "Katanya udah tutup hati, tapi masih demen lihatin cowok ganteng." Godanya dengan gerlingan mata yang menyebalkan.
“Santai aja, lagian dia gak bisa gue gapai.”
Saat aku kembali untuk melihatnya, dia tak dapat terjangkau lagi oleh pandanganku karena sudah pergi entah kemana. Aku merasa kesal kepada Monica yang membuatku kehilangan jejaknya. Kemudian, aku melangkah menuju ruang paling sudut diikuti oleh Monica yang melangkah di sampingku, tempat di mana sekretariat Mading berada.
"Eh, kita gak tahu kan soal takdir. Siapa tahu nanti dia ngejar lo?" Ia menaikturunkan alisnya, menggodaku.
Aku menertawakan kemungkinan Monica yang tak akan pernah terjadi. Memang, tak mungkin dia balik menyukaiku, mustahil!
"Ya kali! Dahlah jangan bikin gue mengkhayal terlalu jauh. Bagi gue, memperhatikannya diam-diam sudah cukup untuk mengobati perasaan yang tak kunjung terbalaskan."
"Etdah, puitis banget,” Monica geleng-geleng kepala, “tuhkan berarti lo ngarep dibalas cintanya sama dia." Gadis itu kemudian menyenggol bahuku dengan ekspresi tengilnya.
"Tapi gue gak mau nunjukkin gue suka sama dia." Aku membuka pintu sekretariat. Di dalam tak ada siapapun selain keheningan. Lantas, aku duduk di salah satu kursi sambil menunggu anggota yang lain untuk berkumpul. Sebab, hari ini kami mengadakan pertemuan membahas seputar program kerja bulan Mei.
"Labil lo." Celetuk Monica yang sama sekali tak membuatku tersinggung.
Monica memang cenderung blak-blakan dia tak pernah setengah-setengah saat memarahi atau menegurku. Bahkan jika aku memang salah dia tak akan segan menceramahiku panjang lebar sampai aku tertidur. Meskipun begitu, aku menyukai perilaku Monica. Bagiku, lebih baik berbicara di hadapanku jika memang membenci atau mempunyai pendapat lain tentang kebiasaanku, daripada membicarakanku di belakang. Dan poin tambahannya, Monica tak akan segan menegur siapapun yang bersikap tidak sopan atau menyakitiku. Jauh di lubuk hati terdalamku, aku bersyukur memiliki sahabat seperti Monica.
Setelah menunggu beberapa saat, satu persatu anggota Mading memasuki ruangan. Hingga semua pengurus Mading telah berkumpul, rapat dimulai dipimpin oleh wakil ketua UKM kami. Semangatku tak semembara rapat kemarin. Sebab, lelaki itu tak hadir di sini.
.......
Kami berjalan berdampingan menuju kantin sembari berpegang tangan seperti dua orang yang hendak menyebrang. Aku sudah tak heran dengan perilaku Monica yang selalu menempel seperti ini. Kemana pun kami melangkah, Monica pasti memegang tanganku. Saat kami baru menjalin hubungan pertemanan, aku agak risih dengan perilaku Monica yang seperti ini. Aku bahkan sempat keceplosan mengatakan, ‘Gue normal!’ pada Monica kala gadis itu terus mepet-mepet. Namun, kian kemari aku semakin memahami, Monica memang memiliki sifat menempel pada siapapun. Lagipula Monica sudah memiliki pawang yang telah membersamainya selama bertahun-tahun lamanya. Jefri Rahardian, cowok SWAG yang setelannya selalu membuat berdecak kagum.
"Mau makan apa?" Tanya Monica tanpa menatapku. Mata dan jarinya sibuk memilih deretan makanan dalam menu. Ia menjilati bibirnya, persis seperti orang kelaparan.
"Apa aja deh, yang penting bisa dimakan." Ceplosku asal.
Aku mengedarkan pandangan ke segala arah penjuru kantin. Suasana nampak ramai oleh mahasiswa dengan segala aktivitas mereka. Ada sekumpulan mahasiswa akhir yang tengah mengerjakan skripsinya sampai mereka kompak memegang kepala; ada yang bernyanyi sambil bermain gitar meramaikan suasana; ada yang terus bersiul menggoda para gadis; adapula yang hanya diam melamun sambil menonton kesibukan di kantin, seperti diriku.
Kehebohan di sini persis seperti riuhnya anak SMA, hanya saja tingkatannya sekarang lebih tinggi. Aku kira kehidupan perkuliahan akan diliputi dengan keseriusan karena masanya sudah bukan lagi bercanda. Namun aku salah, di setiap tempat aku selalu menemukan kehangatan yang berbeda yang diciptakan oleh setiap orang. Menyaksikannya saja aku ikut senang, apalagi terlibat di dalamnya.
Sibuk memperhatikan orang lain, aku sampai tak mendengar jika Monica sedari tadi memanggilku. Monica sampai menggebrak meja untuk membuyarkan pikiranku. "Apa?" Aku menyolot.
Monica langsung melotot dengan bibir yang dicebikkan. "Eh, kamvret emang! Cepet mau pesen apa? Gue pesenin sekarang nih. Mana penuh banget kantin." Gerutunya sembari melihat antrian panjang di depan etalase makanan.