"Iris?"
Sebuah suara mengusik lamunanku, suara itu bagai sebuah lagu indah yang mengalun sampai telingaku. Tanpa keterpaksaan, aku mengangkat kepala. Mendapati sosok lelaki yang kusukai sejak lama. Aku harap ini bukanlah mimpi karena mungkin tanpa kusadari aku tertidur di kursi taman, setelah berjam-jam duduk seorang diri dari pagi sampai malam.
“Kamu ngapain di sini?”
Mimpi yang begitu indah. Dia bahkan duduk di sampingku, tepat pada bagian kursi taman yang kosong. Cara dia menatap begitu berbeda dari yang sering aku lihat. Matanya yang hitam pekat seperti menyalurkan hipnotis sehingga membuat duniaku seketika buyar. Astaga, sudah berapa aku tersenyum tanpa mengedipkan mata?
“Ini udah malem, kamu ...” Dafa sempat mengedarkan pandangan ke sekitar, “... kamu sendiri?” Lanjutnya.
Aku mengangguk tanpa suara. Entah terpukau dengan ketampanannya atau memang diriku yang masih malas berinteraksi dengan siapapun.
"Di sini dingin, Ris." Ujarnya dengan nada yang begitu sopan untuk masuk ke rongga telingaku.
Aku tertawa riang dalam hati. Predikat cuek dan misterius mungkin tak berlaku untukku di sini. Dafa sedikitnya memperhatikan diriku, tak secuek kata orang lain. Atau mungkin Dafa bersikap begitu karena memang seharusnya ia peduli pada pengurus Mading? Pada seseorang yang satu kampus dengannya? Atau apa yang ia ucapkan barusan hanya basa-basi saja? Yang pasti benar atau tidaknya, apa pun alasannya, aku tetap merasa senang. Setidaknya Dafa memberikan hiburan untuk hatiku yang tengah terluka.
"Kamu gak pulang aja, Ris?" Pertanyaan ketiga yang Dafa lontarkan. Raut cemas jelas terpampang di wajahnya.
"Baru aja di sini, Kak." Bohongku. Bahkan pedagang kaki lima pun yang tadi pagi melapak di sini sudah beranjak pulang ke rumahnya.
"Yaudah kalau gitu aku pamit, ya? Ada urusan." Katanya.
Aku kecewa, kukira dia akan menemaniku dan berbincang lama di sini. Kenyataannya itu hanya harapanku dan bayanganku karena terlalu banyak menonton drama Korea. Padahal aku berpijak dan hidup di dunia nyata, bukan fiksi belaka hasil karya sastra.
Aku mengangguk, meski berat hati. Lantas Dafa pergi meninggalkanku seorang diri. Aku benar-benar kecewa dengan khayalanku sendiri. Tadinya aku akan menceritakan panjang lebar dengan rasa senang kepada Monica bahwa Dafa tak secuek yang orang-orang kira, bahwa aku berbincang lama dengannya, bahwa aku hampir selangkah lebih dekat dengannya. Akan tetapi, predikat itu sepertinya memang dimiliki lekat oleh Dafa. Buktinya pemuda itu sama sekali tak peduli jika aku mati kedinginan di sini sekalipun.
Aku mengacak-acak rambutku frustrasi. Tidak seharusnya berharap kepada lelaki yang bahkan untukku dekap bayangannya pun tak bisa. Beberapa menit kemudian, aku memutuskan untuk pulang. Di jam-jam ini biasanya keluargaku sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Jadi, aku leluasa untuk melewati ruang demi ruang dalam rumah hingga sampai ke kamarku.
......
Berjalan gontai melewati lorong kampus, Monica berlari dan menubrukan dirinya padaku sampai kami terjatuh bersama ke lantai karena aku tak bisa menjaga keseimbangan. Monica memang gadis paling ‘berlebihan’ di dunia. Lihatlah, dia seperti tidak bertemu denganku selama satu abad. Alhasil, kami sama-sama meringis pagi itu dan erlentang sebelum akhirnya saling membantu untuk bangkit.
"Kurang kerjaan lo masih pagi nyeruduk gue, kayak banteng aja!" Gerutuku sambil menepuk-nepuk bagian baju yang kotor. Aku kemudian meringis karena merasa pantatku remuk.
Bukannya meminta maaf, Monica berkecak pinggang sambil menatapku nyalang seakan aku adalah orang yang paling menyebalkan di muka bumi. "Lo ..." Monica menunjuk wajahku dengan ekspresi siap menerkamku hidup-hidup, "ke mana aja kemarin! Lo tahu gak sih betapa khawatirnya gue?! Lo gak bales WA gue, gak angkat telepon gue!"
Aku membiarkan Monica mengguncang tubuhku yang ringkih tak bertenaga ini sambil terus mengomel panjang lebar. Aku pasrah, sebab aku terlalu lemah untuk melawan gadis cerewet di hadapanku ini. "Gue gak masuk kuliah." Jawabku, singkat, padat, dan jelas.
"Yes i know! But, lo ke mana, Iris Felicia?! Jangan aneh-aneh kayak biasanya, deh! Kali ini lo bolos ke mana?!" Monica sekarang benar-benar jengkel karena ia menyebut namaku secara lengkap.
Aku menutup kuping rapat-rapat mendengar pekikan cempreng Monica yang menyebalkan. Padahal ini masih pagi, tapi aku harus mengorbankan telingaku untuk omelan Monica dan suara melekingnya.
"Dosen-dosen pada nanyain ke gue, astaga. Mentang-mentang gue lubang idung kanan lo, gue bingung harus jawab apalagi karena ini bukan pertama kalinya! Ah, sebel deh gue sama lo!" Monica menghela napas kasar.
"Lubang idung gue cuman dua, jangan nambah!" Elakku. "Lagian kenapa, sih? Inikan perkuliahan, bukan sekolah SMA-SMP. Jadi, gimana gue lah masuk enggaknya."
Monica kembali berkecak pinggang, kini disertai gelengan kepala. Dia persis seperti seorang ibu kos yang siap melahap penyewa kosnya yang telat bayar sewa. Aku mengapreasiasi Jefri, kekasih Monica yang telah bertahan dengan gadis ini selama bertahun-tahun. Pasti gendang telinga dan kesabarannya sudah terlatih dengan baik.
"Jenjang pendidikan tuh tujuannya sama, ngejar cita-cita. Kalau lo terus berpikiran gitu, gimana lo mau sukses? Sadar gak sih, Ris, kuliah lo itu selama beberapa minggu ini bolong terus. Apa gak malu lo pas dipanggil dosen? Setiap lo gak ada, pasti nanya, ‘Iris ke mana lagi?’ masa gue mesti jawab jawaban yang sama terus? Kalau lo kuliah sambil kerja, kan jelas gue jawabnya. Lah, ini kan enggak. Masa gue harus jawab, ‘Iris bolos, Pak/Bu, gak tahu ke mana’.”
Aku bergeming, apa yang dikatakan oleh Monica benar. Beberapa minggu ini kuliahku bolong. Aku selalu membolos tanpa memberikan keterangan baik itu kepada dosen yang bersangkutan ataupun kepada Rere, absensi kelas. Aku tahu itu salah, tak seharusnya aku melakukan itu. Padahal aku kuliah karena ingin. Akan tetapi, aku tak bisa mengontrol emosi. Setiap ada permasalahan di rumah, melarikan diri tanpa sepengetahuan siapapun adalah caraku untuk menenangkan diri.
Gadis 20 tahun itu memegang pundakku, kini tatapannya begitu tulus. Tidak seperti sebelumnya yang penuh dengan kemarahan. "Lo tuh pinter, Ris. Jangan sia-siain anugerah dari Allah. Di luar sana banyak orang yang mau kuliah tapi gak bisa karena keadaan. Seharusnya lo nikmatin masa kuliah lo ini dengan banyak belajar dan capai mimpi lo. Gue gak tahu alesan kenapa lo bolos terus, terlepas dari apa pun keadaan lo atau masalah yang bikin lo gini, jangan biarin diri lo terjerembab dalam ruang penyesalan karena lo hari ini gak merjuangin hidup lo buat masa depan yang cerah." Tutur Monica panjang lebar. Tiap katanya membuat benteng pertahanan diriku runtuh. Aku tak lagi bisa menahan tangis dan berpura-pura seakan aku baik-baik saja.
Monica lantas menarikku dalam pelukan begitu melihat perubahan ekspresiku yang cepat. Luruh sudah air mata di pundak gadis itu. Pagi ini aku awali hari dengan menangis. Persetan dengan pandangan orang-orang, aku hanya ingin tenang, aku hanya membutuhkan seseorang yang memelukku dan mengatakan–
"Semua bakalan baik-baik aja, Ris. Jangan merasa sendiri karena gue selalu ada buat lo. Kalau lo butuh apa pun, lo pengen cerita apa pun, hubungi gue langsung. Gue sahabat lo yang selalu ada buat lo. Jangan melarikan diri lagi, gue khawatir lo kenapa-napa." Kata Monica, aku makin mengeratkan pelukanku padanya.
.......
Di kursi paling belakang, aku dengan semangat memperhatikan Dafa yang sedang berbicara di depan. Laki-laki itu sungguh membuat aku jatuh cinta setiap kali bertemu dengannya. Wibawanya sebagai ketua maupun mahasiswa biasa mampu mencuri hatiku dengan mudah tanpa berusaha.
“Mon?”
Monica yang duduk di sampingku, mengangkat alisnya, "Apa?"
Lantas, aku mengirimi Monica pesan karena berbicara dalam forum bukan ide bagus.