Dafa adalah seseorang yang membangkitkan semangatku selama ini. Tanpa dia sadari, apa yang dia lakukan membuatku termotivasi untuk menjadi seseorang yang pantas untuknya. Aku yang tadinya hanya diam di tempat tanpa bergerak, mulai menemukan jalan menuju impianku. Bahkan foto lelaki itu menjadi wallpaper ponselku. Tersenyum sembari melipat tangan di dada, menumbuhkan semangat dalam diri ketika aku merasa lelah dengan dunia.
Setiap hari secara diam-diam kupandangi Dafa dari kejauhan. Caranya tersenyum dan berbicara pada orang makin menambah kadar perasaanku padanya. Saat Dafa menjadi pembicara di sebuah seminar kampus, aku sengaja datang dan duduk di bagian kursi paling depan. Memotret tiap gerak-gerik Dafa saat berbicara dan mengulas senyum. Aku sering membayangkan jika akulah yang membuat senyum itu tercipta.
Tidak hanya itu, memasuki UKM Mading menjadi salah satu jembatan untukku mengenal Dafa lebih dekat, selain untuk mengasah lebih tajam kemampuan menulisku. Setiap rapat dan perkumpulan aku selalu bersemangat. Berdandan semenarik mungkin dan berusaha menonjolkan diri dengan kedisiplinan dan rajin mengikuti kegiatan apa pun di dalam Mading. Namun, semua itu belum cukup membuat Dafa sadar bahwa diam-diam aku menyukainya. Bukannya semakin bersinar, aku justru mulai banyak membuat masalah. Alhasil, Dafa melirikku bukan sebagai gadis menarik, tapi sebagai gadis pembangkang di organisasi yang ia pimpin.
"Apa yang bikin lo sesayang itu sama Dafa?" Tanya Monica suatu hari.
Aku mengedikan bahu. Sebab, aku pun tak tahu alasan mengapa aku bisa menaruh rasa semudah itu untuk Dafa. "Kalau gue tahu alasan kenapa gue sayang dia, berarti perasaan gue ke dia gak tulus, Mon."
"Padahal masih banyak cowok yang suka ke lo. Kenapa milih diam-diam suka ke Dafa? Tuh, orang kayak es batu tahu gak. Terus dia kelihatan galak dan jutek banget." Ujar Monica.
Aku masih menikmati pemandangan di kursi taman karena di sana Dafa tengah berbincang dengan rekannya, sementara aku duduk di balkon lantai dua gedung fakultas matematika. Kupandangi dia lekat, menyimpan lagi memori tentangnya di dalam kepala. Astaga, semakin hari ketampanannya semakin meningkat.
Aku bahkan pernah diam-diam memberikannya makanan. Nasi goreng buatanku dihiasi oleh dua nugget sebagai mata dan potongan sosis yang menjadi hidungnya. Tak lupa aku menambahkan mulut dengan lengkungan yang diciptakan dari saos. Aku ikut tersenyum melihatnya. Apalagi Dafa saat menerimanya, bayanganku yang belum tentu terjadi saat itu. Saat perkumpulan di gajebo fakultas bahasa, aku mengendap-endap menuju tas Dafa yang tersimpan di atas meja ruang sekre dan menyimpan bekal spesial itu di sana. Lalu, kusisipkan surat bertulis 'selamat makan' dengan emoticon senyum dan hati. Berharap Dafa mencaritahu siapa yang mengirimnya bekal.
Namun ternyata tidak. Pemuda itu seakan bersikap seolah tak ada yang terjadi. Aku sempat kecewa karena tak ada reaksi dari Dafa. Akan tetapi, perasaan dalam hati mendorongku untuk terus berjuang sampai akhirnya aku tahu siapa Dafa yang sebenarnya.
Kecewa, marah, sakit hati, dan kesal bercampur menjadi satu. Aku merutuki diri karena pernah mencintai seseorang sebegitu dalamnya. Orang yang bahkan tak pantas menerima cintaku. Aku bersyukur tak pernah jujur untuk mengatakan bahwa aku mencintainya. Jika sudah bilang, mungkin aku akan tambah menghina diriku sendiri yang begitu bodoh. Perkataan Dafa hari ini benar-benar menusuk dadaku, merusak hatiku, dan menghancurkan segalanya. Aku hanya bisa menangis di rooftop gedung seorang diri. Tak peduli hujan telah membuat diriku basah kuyup.
Aku menyesal pernah menaruh perasaan pada orang yang hari ini menyakitiku begitu kejam. Seharusnya aku tak mencintainya. Seharusnya aku tak pernah menyukainya. Seharusnya aku tak pernah bertemu dengannya. Dengan begitu, hanya ada beban keluarga di dalam kepala, bukan rasa sakit tak berarti dalam diri yang tumbuh karenanya.
.....
Beberapa waktu berlalu semenjak kejadian itu, banyak anggota Mading yang terus menerorku dengan pertanyaan yang sama, kenapa keluar organisasi?
Aku menjawab mereka dengan alasan bahwa aku ada kesibukan di luar dan tidak memungkinkan lagi untuk mengikuti organisasi itu. Meski sebenarnya, ingin sekali aku mengatakan hal yang sebenarnya, tapi jika aku mengatakan itu berarti aku sama saja seperti Dafa.
Kata Monica dan Putri, Dafa selalu menanyakan keadaanku. Dia bahkan meminta kepada mereka untuk membujukku agar kembali lagi masuk Mading. Tidak hanya itu, dia juga mengirim banyak pesan yang tak pernah kubaca. Aku sungguh mengabaikannya. Dahulu aku memang mencintainya, berharap menjadi kekasihnya, tapi sekarang aku membencinya. Memang benar, jangan terlalu dalam mencintai seseorang, nanti kadar bencimu akan setara dengan kadar rasamu padanya. Dan itu yang aku rasakan sekarang.
Setiap hari memang berjalan seperti biasanya. Aku masih berkuliah ditemani ketengilan Monica. Gadis itu terus menghiburku dengan caranya. Pernah dia berkata akan ikut keluar dari Mading saat mendengar isi hatiku tentang Dafa. Namun, aku memintanya untuk bersikap professional karena bagaimana pun Monica memiliki mimpi yang harus ia kembangkan melalui organisasi itu.
"Ris, gue mau ngomong," Monica nampak resah dari caranya memutar-mutar mie dengan garpu yang dia pegang. Biasanya ia akan melahap mie itu seperti orang kelaparan. Kini, ia membiarkan mie itu mengembang.
"Tinggal ngomong." Kataku santai. Seperti biasa kegiatanku di kantin selain berbicara dengan Monica, aku memperhatikan kegiatan mahasiswa lain di sana.
"Ini soal Dafa."
Aku berhenti mengunyah, menatap Monica dengan kening yang bertaut dan jelas tatapan tak suka. "Ngapain ngomongin dia?"
"Dafa nanyain terus tentang lo ke gue."
"Terus gue harus apa?" Nadaku mulai terdengar tak enak. Aku mulai naik darah saat mendengar nama lelaki itu disebut. "Biarin aja atau perlu lo blokir."
"Yeee dia kan ketua umum gue di Mading. Ya, kali gue block. Kalau gue bukan anggota Mading pasti gue block." Kata Monica yang kuabaikan. "Dia kayaknya nyesel banget, Ris. Setiap pertemuan dua kelihatan murung banget."
"Bukan urusan gue, Mon."
"Tapi bakal jadi urusan lo."
Aku menaikan satu alis. "Lah, kok gitu?"
"Dia berubah, Ris, gue gak tahu kenapa, yang pasti dia beda banget di organisasi. Dia sebelumnya tegas, galak, dan bawel banget soal tupoksi atau program yang menyangkut Mading. Sekarang dia bener-bener megang predikat cowok dingin di organisasi, bukan di luar organisasi doang. Dan itu terjadi semenjak lo mutusin keluar dari Mading. Sekarang yang nge-handle Fadil. Dia keteteran ngurusin semuanya." Jelas Monica.
"Gak profesional banget." Ketusku di mulut tapi beda di hati.
"Coba lo ajak ngobrol Dafa."
"Lo gila?" Tidak, itu bukan ide yang bagus. "Ya, kali gue ngebujuk dia. Jangan terlalu percaya diri sama feeling lo, Mon. Kadang feeling juga ada salahnya."
"Siapa tahu dia berubah emang karena gak ada lo di UKM."
Dengan santai Monica memakan makanannya setelah mengatakan hal yang membuat pikiranku ambyar. Mood makanku lansung hilang berganti dengan lamunan panjang yang memutar kenangan demi kenangan antara aku dengan Dafa: saat aku sering memperhatikannya dari kejauhan; saat kami tak sengaja saling bertabrakan di lorong; dan saat Dafa menangkapku tatkala aku hampir jatuh ke lantai karena berusaha menjangkau ponselku yang Dafa pegang.