Aku di tahun 2021
Ruangan luas berlatar coklat kayu itu dipadati dengan barisan buku yang tak terhitung jumlahnya. Bahkan saking tak tertampungnya jumlah buku dalam lemari, tak sedikit buku menumpuk di lantai marmer berwarna coklat muda. Di dekat jendela terdapat meja kerja yang dihiasi oleh beberapa pernak-pernik seperti jam, alat tulis di dalam wadah, beberapa tumpukan buku yang sepertinya masih dibaca, foto wisuda, dan beberapa foto penghargaan yang berhasil diraih serta laptop dan tumpukan kertas putih yang acak-acakan.
Tepat di samping meja kerja, ada sebuah papan yang menjadi tempat mendaratnya ide tulisan. Semua tercantum di atas catatan kecil berwarna-warni dan menempel secara acak di sana. Papan itu menjadi saksi, bahwa sebuah naskah akan tamat setelah melewati banyak rintangan, seperti; writer block, pencarian ide dan referensi, penulisan karakter, penyusunan outline, dan lainnya yang lumayan sulit.
Untuk bersantai, tak lupa sebuah sofa panjang berwarna hitam disediakan. Terkadang aku memakainya untuk tidur jika terlalu lelah dengan pekerjaan. Meski ruangan ini memberikan kesan misterius dan kelam didukung warna cat dindingnya, tapi itu membuatku sangat nyaman untuk bekerja, bersantai sambil baca buku ataupun sekedar menangkan diri.
Ruangan ini didesain oleh Papa yang tak kuubah sama sekali tata letaknya. Hanya saja ada beberapa yang direnovasi ulang. Sebuah ruangan yang selalu menjadi tempat pelarianku di saat dunia mendesakku dengan berbagai tuntutan yang menyiksa. Pun ketika kenangan mengingatkanku pada seseorang beberapa tahun lalu. Menyeretku berulangkali pada ingatan yang selalu kuhindari setiap waktu.
Aku beranjak dari sofa, meregangkan tubuh setelah diistirahatkan beberapa jam. Dengan perlahan, kunikmati udara yang terhirup tatkala jendela terbuka lebar. Sore ini, mentari memberikan kesan hangat dan warna yang indah. Sebelum ia benar-benar pergi diganti bulan yang siap bekerja sampai pagi. Suasana sore di komplek perumahan ini masih sama seperti dulu. Bedanya tak ada orang-orang yang menghangatkan rumah.
Baru saja menikmati alam terbuka, perutku menuntut untuk segera diisi. Dengan gontai aku melangkah keluar seraya menggaruk kepalaku yang gatal. Ruangan kerjaku berdampingan dengan kamar tidur yang ada di lantai dua. Akan tetapi, tempat yang selalu aku tiduri adalah ruang kerjaku. Saat baru saja melangkah menuju dapur, dering bel berbunyi berulangkali, aku dapat menebak itu adalah sahabatku. Dengan malas aku melangkah dan berteriak kepadanya untuk sabar sampai aku membukakan pintu. Dan benar saja, saat pintu terbuka, dia memperlihatkan deretan geligi putihnya sembari mengacungkan paper bag.
"Ngapain lo?" Tanyaku, aku berbalik untuk kembali berjalan menuju dapur. Monica membuntuti setelah menutup pintu.
"Lo inget gak nanti kita ada acara apa?"
"Nggak." Jawabku jutek.
Monica mendelik. "Ye, galak amat. Ayolah, Ris, jangan kerja mulu. Gak bosen apa? Sekali-kali lo butuh refreshinglah."
Aku mengeluarkan beberapa bahan makanan dari dalam kulkas. Kemudian, memotong beberapa bahan sebelum kumasak, sementara Monica duduk di kursi meja makan dan terus mengoceh.
"Seluruh anggota Mading dari mulai angkatan awal sampe angkatan sekarang mau ngadain ulang tahun UKM Mading, masa lo gak mau hadir, sih?"
Aku diam tak menanggapi. Tanganku sibuk menyiapkan bahan makanan untuk menu makanku hari ini. Melihatku yang cuek bebek, Monica berkecak pinggang. Mukanya menekuk mengartikan bahwa dirinya kesal karena diabaikan.
"Lo gini karena gak mau ketemu dia, ‘kan?"
Seketika aku berhenti memotong cabai dengan pandangan kosong. Pertanyaan Monica menghentikan sejenak duniaku, hingga mengantarkanku pada masa lalu yang selama ini ternyata masih mendekap jelas dalam ingatanku.
"Ini udah 4 tahun, Ris, gue yakin dia bahkan gak inget kalau dia pernah nyakitin lo."
Tapi aku masih mengingat betul. Aku melanjutkan aktivitas memotong cabai dengan hati yang mulai resah karena mengingatnya. "Kalau lo mau pergi, pergi aja sendiri." Kataku dengan wajah datar.
Aku mendengar jelas helaan nafas Monica. "Gue ngajak lo bukan cuman buat nemenin, Ris, tapi buat jadi tamu kehormatan juga. Lo udah jadi penulis terkenal sekaligus editor naskah dan influencer. Gak mau apa ngasih ilmu dan motivasi ke anak-anak angkatan sekarang yang pengen banget berada di posisi lo?"
Aku menyimpan pisau dengan kasar, menatap Monica lekat dengan tatapan lesu. "Mon, gue gak bisa. Udah berapa kali gue bilang, gue gak bisa. Lagian, ‘kan, gue di Mading dulu gak sampe selesai, cuman setengah tahun, dan keluar dari organisasi itu tanpa pamit dan penghormatan, gue malulah."
"Yaudah kalau lo gak bisa, gue gak bakal maksa lagi, Ris. Tapi, coba lo pikirin lagi, demi angkatan 2021 sekarang. Mereka nyari modal cuman mau ngundang lo sebagai tamu kehormatan. Meski lo cuman setengah tahun dan keluar Mading tanpa penghormatan, mereka masih menganggap lo bagian dari Mading. Itu artinya mereka bener-bener mengakui dan membanggakan lo sebagai anak Mading yang sekarang sukses." Kata Monica dengan ekspresi seriusnya.
"Ini baju yang mereka titipin ke gue sebagai drescode yang lo pakai nanti kalau lo mau hadir di acara itu. Inget, Ris, lo ada ditahap ini karena banyak orang. Jangan cuman karena satu orang, bikin lo ngecewain orang-orang yang selama ini ngedukung lo." Lantas Monica berdiri, memberikan tatapan malas padaku. Jantungku mencelos melihatnya seperti itu. "Gue mau pulang dulu."
"Mon!" Namun, Monica tetap melangkah pergi.
Aku terpaku dengan segala macam kata yang menyerang ke dalam kepala. Tenggelam dalam fakta yang dilontarkan Monica beberapa saat lalu. Apa yang dikatakan gadis itu perihal alasanku tak ingin hadir memang ada benarnya. Aku bimbang, masih belum siap jika bertemu dengan dirinya walaupun empat tahun telah berlalu. Terbilang sudah lama, tapi tetap saja aku merasa berat hati jika harus berada dalam satu ruangan dengannya. Aku tak ingin membuka luka lama yang susah payah kusembuhkan tanpa siapapun di dalamnya.
Sejak dua hari yang lalu, anggota Mading angkatan tahun 2021 mengirimi email ke managerku. Mereka ingin aku hadir di acaranya bukan hanya sebagai alumni saja, tapi juga pemateri di sana. Aku mempertimbangkan itu dan mengatakan jangan dulu membalas surel kepada managerku. Dan bahkan sampai hari ini, aku belum bisa memastikan jawaban, tapi baju sudah sampai dengan diantar oleh Monica. Sebegitu antusias dan berharapnya mereka untuk aku hadir di acaranya.
Selera makanku telah kandas. Aku membiarkan bahan makanan berceceran tanpa dilanjutkan. Kakiku malah melangkah menuju ruang kerja dan menguncinya dari dalam. Bukan untuk melanjutkan tulisan yang belum terselesaikan atau mengerjakan tugas kantor, melainkan mengambil kotak yang berada di tong sampah yang sempat kubuang tadi.
Aku mengangkatnya ke meja dan duduk di kursi. Kemudian, menatap lekat kotak itu dengan hati yang terasa sesak. Terkadang, aku heran pada diri sendiri kenapa aku bisa sebegitu jatuh cintanya pada seseorang sampai bertahun-tahun lamanya. Hingga aku tak bisa lagi menerima siapapun untuk menjadi tambatan hatiku selanjutnya. Justru, aku terjebak pada masa lalu yang seakan tak mengizinkanku untuk mencari yang baru.
........
Aku di tahun 2015
Kabar bahwa Dafa berubah drastis dan mendekatiku sudah tersebar ke mana-mana. Sebagian besar mahasiswa takjub dengan diriku yang membuat cowok predikat dingin dan tak pernah terlihat bersama perempuan secara intens itu menjadi sosok yang berbeda. Pun sebagian ada yang merasa iri dan terang-terangan menyebutku tak pantas bersanding dengan pemuda se-sempurna Dafa. Apalagi saat Dafa mendatangiku ke kantin, keesokan harinya aku menjadi topik hangat di seluruh penjuru kampus. Bahkan sampai saat Dafa tidak lagi mendekatiku, kabar itu masih terdengar. Aku tak bisa mengelak. Hanya diam seakan tak pernah terjadi apapun adalah caraku menghindar dari tatapan mereka semua.
Namun, yang tak kumengerti adalah mengapa semua orang bisa tahu bahwa Dafa selalu memberiku hadiah? Saat aku menanyakan perihal itu kepada Monica, dia dengan tegas mengatakan bahwa ia tak pernah menceritakan kepada siapapun. Padahal Dafa selalu menitipkan hadiah kepada Monica. Menyesal aku menaruh curiga pada sahabatku itu. Tak mungkin pula bila Monica menyebar sesuatu yang bersangkutan denganku, apalagi hal itu sampai merugikanku. Aku percaya Monica tak seperti itu.
"Lo bisa seterkenal ini cuman karena Dafa terus datengin lo. Padahal orang gak tahu kalau Dafa cuman minta maaf."
Aku mengedikan bahu, "Mungkin gini rasanya dikira deket sama cowok seterkenal dia." Ujarku asal.
"Tapi bisa jadi–"