“Win.. kamu buat kesalahan apa?” tanya Sekar sembari meremas jemariku, begitu kuat.
“Maksudnya?” tubuhku tiba-tiba bergetar. Hatiku sibuk bertanya-tanya, kesalahan apa yang telah aku buat?
“Kamu dipanggil Big Boss. Ada dua kemungkinan: kamu dipecat atau kamu dipromosikan. Apa yang sudah kamu lakukan Win?”
“Are you sure? Pak Elang memanggilku?” kali ini Sekar hanya mengangguk. Tanpa berniat menjawab pertanyaannya, aku segera berlari kecil menuju ruangannya, ruangan Elang.
Jantungku berdegup sangat cepat, seolah sedang berlomba dengan langkah kakiku. Pikiranku melayang, mencoba mengingat apa saja yang telah aku lakukan, sampai-sampai Elang sendiri yang memanggilku. Apakah tak cukup seorang Pemimpin Redaksi saja yang memberikan teguran padaku. Debaran jantung, langkah kaki, gelisah di hati, dan pikiran yang melayang-layang nakal tak berhenti menyiksa. Beberapa kali aku nyaris menabrak rekan kerjaku. Fokusku meledak, menyebar ke seluruh penjuru ruang, hingga aku berdiri tepat di depan pintu ruangannya. Seolah khawatir salah ruangan, kupandangi papan kecil yang menempel di pintu kerjanya, mengukir sebuah nama yang sangat aku kenal.
Elang Dharmawangsa.
Direktur Utama.
Kuketuk pintu kayu jati itu. Tak ada jawaban. Ketika hendak kuketuk lagi, pintu kayu yang kokoh itu terbuka. Wajah tampan Elang sungguh menyihirku. Tangan kirinya memberiku kode, mempersilakanku masuk. Senyumnya tak pernah mengempis dari bibir yang tak pernah terjamah cerutu ataupun rokok.
Elang memang tipe pria yang selalu menjaga kesehatan. Sering aku dengar dia mengikuti berbagai event olahraga, mulai dari lari, renang, hingga tenis. Dia juga dikenal sangat peduli pada gizi makanan, maka tak heran bila makanan yang dijual di kantin kantor adalah menu-menu makanan sehat. Hampir tak ada masakan bersantan dijual di kantin ini, padahal aku sangat suka masakan Padang.
Dia mempersilakanku duduk di sofa tamu. Sofa itu terasa begitu dingin. Ruangan itu pun terasa sangat dingin. Itu pertama kalinya aku masuk dan melihat isi ruangan Elang. Sebuah ruangan berukuran 8x8 meter, beralas karpet empuk berwarna biru gelap. Cahaya matahari dari jendela membentuk siluet meja kerja yang penuh dengan tumpukan kertas. Di samping jendela yang tak begitu lebar, berdiri dengan kokoh sebuah rak buku dari kayu jati berwarna alami. Kulirik buku-buku koleksi Elang sekilas. Aku tak bisa menebak selera bukunya, terlalu jauh untuk kubaca judul per judul ratusan buku itu.
Di meja kecil yang terletak di samping sofa, terpajang dua buah foto keluarganya. Putranya yang masih berusia 6 tahun itu sungguh sangat mirip dengannya. Namun aku tetap melihat Elang jauh lebih tampan daripada darah dagingnya. Kulit Elang jauh lebih bersih, lebih kuning dari kulit putranya.