Mantri itu bernama Pak Jumari. Ia adalah seorang perawat di salah satu rumah sakit yang ada di Lombok Timur. Bertahun-tahun ia mengabdi di sana dan mengundurkan diri sesudah mengemas beberapa ilmu mengenai pengobatan. Kemudian ia membuka klinik pengobatannya sendiri. Kini, Pak Jumari adalah salah satu dokter terkemuka yang ada di hati masyarakat Pijot. Gaya bicaranya luwes dan blak-blakkan. Tampangnya sangar namun penuh kepedulian.
Jika ada warga Pijot ada yang kesulitan mengeluarkan biaya untuk pengobatan, Pak Jumari tidak segan memberinya keringanan yang lebih. Namun bagi warga yang kaya raya, Pak Jumari selalu memberi harga tinggi. Pertidaksamarataan yang dilakukan oleh Pak Jumari sebenarnya adalah sistem kesehatan yang sederhana. Masalah panggilan, pria empat puluh tujuh tahun ini lebih suka dipanggil mantri daripada dokter.
Janubi sudah memakai sarung. Atasannya sudah memakai baju pegon dengan penutup kepala cappuk. Ia duduk di ruang tamu menunggu Pak Mantri datang. Amak menyuruh Bayazid untuk tidak meledeknya. Bagi kebanyakan anak laki-laki yang sudah sunat, menggoda anak-anak yang mau sunat adalah kebahagiaan tersendiri. Ini namanya adalah dendam turunan. Melihat raut wajah anak laki-laki yang ketakutan ketika mau sunat adalah keceriaan tak terkira. Suatu saat nanti, Janubi pasti juga akan meledek Junaidi. Dan Junaidi pun tidak bisa melampiaskan dendamnya lagi, sebab Fatmala adalah anak perempuan yang tidak disunat tentunya. Maka, dalam sunatnya kali ini Janubi merasa beruntung. Ia menyadari sedari tadi Junaidi tidak bisa menggodannya seperti Bayazid tadi malam. Rupanya, Junaidi sadar bahwa suatu saat ia akan disunat juga.
Demi menghindari pembalasan dendam Janubi, maka Junaidi hanya terdiam di depannya. Walaupun sebenarnya keinginannya untuk menggoda kakaqnya amat kuat. Yang dilakukan Bayazid tadi malam saat menakut-nakuti Janubi perihal sunat adalah salah satu perbuatan yang menyenangkan. Junaidi merasakannya.
“Hayo Jan. Nanti sunatnya pakai kapak!”
“Benarkah itu?”
“Tentulah. Nanti kesakitannya amat ngeri. Dulu kau pernah terjepit lerekan celana ‘kan? Nah, begitulah rasanya. Tapi … kalau sunat itu seratus kali lipatnya.”
Janubi segera menunduk ketakutan, sementara Bayazid tertawa penuh kuasa. Melihat wajah Janubi yang sedemikian takutnya, ia ikut tertawa. Dan godaan itu berakhir ketika Amak tiba-tiba datang dan menyentak Bayazid kemarin sore.
Pak Mantri telah tiba setelah dijemput oleh Hasanuddin. Amak dan Inak lekas mengantar Janubi ke kamar. Di depan kamar, Papuk Mame mengusap kepalanya dan berkata, “Jadilah anak soleh, Janubi.”
***
Sepuluh hari setelah sunat ...
Janubi telah bersekolah lagi. Pada jam istirahat, empat serangkai menghampirinya. Gerombolan pem-bully Janubi itu tahu kalau Janubi banyak uang.
Di sudut bangku depan, Dewi sedang duduk dengan membaca buku. Ada beberapa anak lain yang masih di kelas. Mereka membawa bekal atau kue dari rumah, sehingga tidak ke kantin.
Janubi saat itu sedang memeriksa angpau pemberian Papuk Mame. Rencananya, sepulang sekolah ia akan membeli mainan tamiya. Begitu empat serangkai berjalan menuju bangkunya, ia lekas menyembunyikannya dalam kaos kaki.
Khoirul merangkul pundaknya. Mamat berada di samping kirinya dengan duduk di atas meja. Udin berada di depannya. Di belakangnya sudah ada Zainul. Empat serangkai telah mengitarinya.
“Halo Jan, minta uangnya dong, kamu kan habis sunat. Traktir kami sekarang, ayo ke kantin,” kata Udin memulai pembicaraan.
“Uangku pas.” Janubi menunduk.
Khoirul semakin menguatkan rangkulannya. “Ayolah ... Jan. Kalau kamu baik sama kita, kamu aman berada di sekolah ini.”
Mendengarnya, Janubi teringat masa-masa empat tahun ia berada di SDN Pijot.