Cekatan seperti serigala Roma. Memiliki akselerasi seperti Valentino Rossi. Dan mampu bertarung menghadapi empat serangkai sekeren Keanu Reeves dalam film The Matrix.
Sejak peristiwa itu, ia menjadi lelaki tercepat di sekolahnya, seperti di olahraga kasti kali ini. Ia bersiap sebagai pemukul bola. Dalam detik-detik persiapan, ia teringat betapa lambatnya ia di olahraga ini. Ia selalu gagal dalam memukul bola sebanyak tiga kali. Kemudian bolanya ditangkap tim lawan. Ia harus berlari dengan diiringi gelak tawa satu sekolah sebelum bola itu dihantamkan ke badannya. Tapi kali ini, aku berbeda.
PRIIIT!
Dewi mengambil ancang-ancang. Ia memerhatikan si pelempar bola. Kali ini, ia akan menunjukkan kepada si pelempar bola bahwa ia adalah pemukul bola terkuat di sana. Dewi menelan ludah sebelum melemparkannya.
Begitu bola kasti itu dilempar, seketika gerakan bola itu melambat dalam pandangannya, matanya menyorot ke arah bola, membaca gerakan untuk mengayunkan pemukul bolanya dengan tepat. Kekuatan yang besar ditambah titik bola yang tepat, membuat pukulannya sempurna.
Saat ia memukul bola, ayunan pemukul bolanya menggaung. Saat bola itu mengenai pemukul yang diayunkannya, suara hantaman keras benda tumpul menggema. Bola itu meluncur seperti bola meriam, terhempas dengan kecepatan tinggi menembus udara. Kemudian keluar dari pagar sekolah dan menghilang. Pak Alim melongo. Mulutnya menganga membentuk huruf O.
Pada pelajaran olahraga pekan berikutnya adalah lari. Begitu peluit dibunyikan, Janubi membiarkan ke enam temannya berlari lebih dulu. Beberapa detik kemudian, barulah ia berlari. Kecepatan larinya membuat Pak Alim menaruh kedua telapak tangan di kepala. Guru muda itu melongo lagi melihat Janubi seolah-olah menyindir teman-temannya dengan tidak serius melakukan lari, namun malah menjadi nomor satu.
Hari itu sepulang dari sekolah, Janubi dihadang oleh kakaknya Udin. Kakaknya Udin bukan hanya membawa dirinya seorang, melainkan enam orang. Rupanya mereka mau membalas dendam. Di belakang lelaki itu, terdapat Udin yang ragu menampakkan wajah pada Janubi. Dan di kejauhan, ada Dewi yang akan menyaksikan peristiwa itu.
Mereka berenam maju satu per satu. Tak butuh waktu lama, mereka pun tumbang satu demi satu. Mereka tidak menyerah, bangkit lagi dengan menyerang bersama-sama. Tapi apa yang terjadi? Mereka semua tumbang oleh anak usia sepuluh tahun di sebuah jalan depan Lapangan Pijot.
Janubi yang dikenal memiliki julukan idiot, bahlul, serta dikenal sebagai anak lemah dan lambat, kini menjelma sebagai anak tertangkas, terkuat dan tercepat. Ia sendiri masih bingung dengan apa yang terjadi dengan dirinya. Namun, dirinya yang selalu menjadi pemenang, membuatnya tidak mempermasalahkan apa yang sedang terjadi dengan dirinya.
Baginya, ini adalah dirinya yang baru, dirinya yang ia impi-impikan. Cekatan seperti serigala Roma. Memiliki akselerasi seperti Valentino Rossi. Dan mampu bertarung menghadapi empat serangkai sekeren Keanu Reeves dalam film The Matrix.
Namun dalam kebahagiaan akan dirinya yang baru, ada yang tidak biasa. Dulu setiap kali ia mendapat kesusahan, Dewi selalu memberinya bantuan dan dukungan. Sekarang tidak lagi. Bahkan setiap kali ia menyapa Dewi atau mau mengobrol dengannya, Dewi selalu menghindar. Ia pun menjadi gamang.
Kegamangannya itu membawanya pada suatu lamunan di tepi jalan tak jauh dari SD-nya. Saat melamun ada bocah kecil yang digandeng seorang ibu. Ia menatap mata bocah itu.
Tiba-tiba pemandangan berubah monokrom, ia mendapat pandangan futurologis.
Bocah itu menyeberang bersama wanita itu. Saat sudah sampai di tepi jalan, bocah itu sadar telah menjatuhkan permennya. Bocah itu pun berlari ke tengah jalan dengan melepas pegangan ibunya. Ada pesepada motor yang memacu motornya amat cepat. Begitu bocah itu berdiri tegak seusai mengambil permen, pesepeda motor itu tidak bisa menghindar lagi. Tubuh mungil itu terlempar enam meter dan bisa dipastikan meninggal seketika.
Pemandangan monokrom itu, berwarna kembali.
Ia melihat anak dan ibu itu mulai menyebarang. Di tengah perjalanan, permen yang dipegang bocah itu jatuh. Begitu sampai di tepi jalan, bocah itu melepaskan genggaman ibunya. Ia tahu apa yang harusnya ia perbuat.
Dari jarak lima meter dengan bocah itu, ia lekas berlari. Dengan sekuat tenaga, ia mencengkram baju anak itu dan menariknya ke tepi jalan.