Tidak perlu menjadi lelaki sempurna untuk mendapatkan cinta seorang wanita, sebab seorang wanita yang benar-benar mencintai, tak akan menuntut lelakinya untuk menjadi sempurna.
Ia mendengar pintu kamarnya terketuk. “Iya Papuk Mame, masuklah.”
Ia tahu kalau itu pasti adalah kakeknya, sebab hanya kakeknya yang selalu mengetuk pintu ketika mau masuk kamarnya.
“Janubi,” sapa Papuk Mame sembari mendekatinya. Papuk Mame mengeluarkan hadiah berupa akik dengan hiasan batu jamrud hijau. “Ini, selamat ulang tahun. Jangan dipakai sekarang. Pakai saat besar nanti. Maaf aku terlambat memberikan hadiah ini. Seharusnya aku memberikannya seminggu yang lalu, tepat saat engkau ulang tahun.”
“Tidak apa-apa Papuk Mame, terima kasih.” Ia mengamati akik itu. Walaupun tidak sama, berbicara tentang hadiah, mengingatkannya pada hadiah ulang tahun dari Dewi. “Kenapa Papuk Mame memberikan ini?”
“Kukira ini adalah benda yang paling istimewa buatku.” Papuk Mame berjalan meninggalkannya.
“Papuk Mame!”
“Iya, Jan.” Papuk Mame menoleh. Tangannya masih memegangi gagang pintu.
“Papuk Mame, aku mau bicara sebentar.” Janubi agak meragu.
Papuk Mame melepaskan pegangan. “Iya?”
“Setelah aku sunat, aku merasa ada yang aneh dalam diriku. Mungkin Papuk Mame sukar percaya dengan yang aku katakan. Tapi aku sekarang bisa melihat ma .…” Janubi memperhatikan kilau mata Papuk Mame. Ia berhenti berbicara. Matanya terinersia.
“Oh … itu biasa cucuku. Itu proses dari seorang anak kecil menjadi remaja. Memang setelah sunat, laki-laki pasti merasa ada perubahan dalam dirinya. Tapi, aku tampaknya tidak melihat perubahan padamu. Hanya saja kamu memakai celak, kamu seperti anak ABG.”
Janubi tersenyum manis. Papuk Mame pun berlalu. Pintu kamarnya ditutup. Angin dari jendela yang terbuka semilir membelai lembut rambutnya. Sebenarnya ia ingin bercerita atas apa yang terjadi. Namun bibirnya kelu melanjutkan, sebab matanya tiba-tiba menginersia. Dalam pandangannya barusan, ia melihat masa beberapa tahun ke depan: Papuk Mame meninggal terkena serangan jantung.
Dari dulu, aku gemar berdoa bahwa aku ingin bisa melihat masa depan. Tetapi, setelah bisa melihat masa depan, aku merasa ini doa yang salah. Mula-mula aku bahagia dengan ini dan menyebutnya sebagai sebuah anugerah. Lambat laun, aku sadar ini bukanlah anugerah. Ini kutukan! Ia berjalan gontai menuju jendela.
Di ambang jendela, ia duduk dan melamun, teringat peristiwa kemarin.
Ia bertemu dengan ibu yang anaknya pernah ia selamatkan. Saat ibu yang masih muda itu tiba-tiba menghampirinya sepulang sekolah dan memberinya uang, ia bingung apa maksudnya.
Kemudian ibu itu matanya berkaca-kaca, namun sekuat tenaga menahan untuk menangis. Ibu itu bercerita bahwa anak yang ia selamatkan itu sudah meninggal. Ia bercerita bahwa bahwa sehari setelah selamat dari kecelakaan, malamnya anaknya sakit demam berdarah. Tiga hari kemudian meninggal dunia. “Nak, ibu berterima kasih padamu. Setidaknya, ia wafat di pangkuanku, setidaknya aku bisa menemaninya sampai saat-saat terakhir,” tutupnya.
Saat akan pergi bersama sang suami, Janubi memanggilnya, “Bu.”
“Iya, Nak.”
“Sebentar lagi, Ibu akan dapat penggantinya.”
Suami istri itu pun tersenyum memandangi Janubi. Walaupun Janubi tahu bahwa pasti mereka akan mengira bahwa ia hanya bercanda, ngawur hanya untuk sekadar mengibur, tapi sebenarnya ia serius. Sebab ia melihat sepuluh bulan lagi, ibu itu akan melahirkan seorang anak perempuan. Tapi, ia merasa tak perlu ngotot menjelaskan. Mereka tak akan percaya dengan yang kuucapkan.
Ia masih duduk di ambang jendela.
Ia mengingat akan Papu Mame. Ia mengingat bagaimana tervisualisasinya kejadian-kejadian dalam keluarganya.
Setelah Papuk Mame meninggal, akan ada perebutan harta warisan anak-anak Papuk Mame, antara Amak dengan ke lima saudaranya. Mereka akan berebut warisan berupa 20 kapal penangkap ikan milik Papuk Mame yang berada di Teluk Awang. Tidak hanya itu, mereka akan berebut tanah Papuk Mame seluas 24 hektar. Akan ada huru-hara antar-keluarganya dengan sanak saudaranya yang lain. Bahkan sampai pada titik pertumbahan darah.
Saat itulah Janubi melihat visual Amak yang khilaf. Sebagai anak terakhir dari ke enam bersaudara, Amak merasa selama ini kakak-kakaknya sudah banyak meminta jatah harta kepada Papuk Mame berupa rumah dan tanah. Amak hanya ingin mewarisi dua puluh kapal penangkap ikan, karena selama bertahun-tahun, ia yang mengelolanya. Saat saudara tertuanya mengambil alih surat kepemilikan kapal-kapal penangkap itu, ia gelap mata sehingga khilaf dengan menghunuskan sebilah pisau ke dada saudaranya yang serakah. Ia pun dipenjara.
Sementara itu, Inak jauh dari Amak. Inak merasa tidak tahan. Akhirnya, ia memutuskan untuk bercerai dengan Amak yang masih berada di dalam penjara.