Labirin Kosmos: Janubi & Syamali

Faiz el Faza
Chapter #7

Intermediate Janubi

Kamu tahu, pandangan pertama adalah pertemuan dan pandangan kedua adalah perjalanan panjang.

Gedung B lantai tiga adalah gedung impian bagi mahasiswa tahun ke dua di sana. Bagaimana tidak, ruang yang berada di lantai tiga itu merupakan ruang yang berada di utara asrama putri tahun pertama. Pastinya mereka, para lelaki, bisa leluasa melihat gugusan bidadari-bidadari baru penghuni kampus yang barus lulus sekolah SMA, MA dan atau SMK.  

Termasuk Janubi pagi itu, bersama gerombolannya, Najib, Nanda, dan Dahlan, sedang berada di sana. Dari lantai tiga, mereka mencuci mata. Mata mereka jelalatan melihat mahasiswi-mahasiswi yang cantik-cantik dan manis-manis. Walaupun Janubi enggan pacaran seperti anak muda pada umumnya, menyaksikan perempuan-perempuan dengan wajah baru, tak bisa dielakannya bahwa itu adalah aktivitas yang seru, sekaligus memicu adrenalin.

 “Wow itu, Brew! Cewek yang pakai kaca mata, wih senyumnya,” ungkap Najib sambil menunjuk ke bawah.

Janubi di kampus kerap dipanggil “Brew”. Nama julukan lengkapnya adalah “Brewok”, karena ia memiliki brewok yang menghiasi wajahnya.

Ia, Nanda, dan Dahlan mencari perempuan yang dimaksud Najib. “Itu loh, yang pakai baju kuning, kerudung hitam,” tegas Najib.

Janubi memejamkan matanya rapat-rapat sampai merasakan otot-otot di sekitar tepi matanya menghangat. Kemudian ia memelekkan mata dan mengerutkan alis. Tampaklah gadis itu. Itu perempuan yang sangat cantik hasil bidikan Najib pagi ini. Ia takjub dengan sahabatnya itu. Mata sahabatnya seperti teropong yang mampu memilah bintang paling terang.

Ia masih memperhatikan mahasiswi berbaju kuning bidikan Najib, Dengan ketajaman kekuatan matanya, ia bisa melihat pori-pori bibir yang tidak tersentuh lipstik seperti halnya seorang gadis di samping kiri, dan dua perempuan di samping kanan mahasiswi yang ia perhatikan itu.

Empat orang perempuan yang sedang berjalan ke selatan itu berhenti. Sekarang mereka berempat malah bercakap-cakap dengan badan yang menghadap ke arah timur. Tentunya, Janubi dan gengnya bisa leluasa memandangi mereka dari ujung kaki hingga ujung kepala. Duhai mahasiswi-mahasiswi polos, lihatlah ke atas, kalian tidak tahu kalau di atas ada empat kucing garong.

Perempuan berbaju kuning itu mendongak ke atas. Terlihat melihat empat orang ada di sana. Ia lekas insaf bahwa empat orang itu memperhatikannya. Kemudian matanya terpaku pada sesosok laki-laki berbadan gempal, bertubuh tinggi, berambut panjang dikuncir kuda. Kekhasan laki-laki itu ada pada matanya. Lelaki itu memakai celak.

Matanya terus menatap laki-laki itu. Ia dan teman-teman seasramanya sedang berdiri di tepi jalan di bawah pohon ramping setinggi tiga meter berdaun calang di timur lapangan kampus. Ia sempat melihat lelaki itu menatapnya. Tatapan itu tidak lama, tetapi ia merasakan sebuah getaran.

Najib berkata seraya menyenggol Nanda, “Nda, cewek itu natap aku. Aduhhh, senyumnya! Pengen kenalan.”

Janubi membuang muka dengan melihat ke selatan. Ia hanyalah seorang lelaki yang mengikuti arus, tetapi tidak tenggelam di dalamnya. Ia hanya mengikuti guyonan dan kenakalan tiga sahabatnya, tetapi ia tidak serius. Ia hanya bercanda. Sambil membuang muka ke arah selatan, ia mencoba melirik ke utara, memastikan apakah perempuan itu sudah tidak menatapnya lagi. Gadis itu masih menatapnya.

Najib di samping kanannya kegirangan, merasai gadis itu tertarik padanya. “Wah, dia memandangku lagi Brew, ini pandangan yang ke dua. Kamu tahu, pandangan pertama adalah pertemuan dan pandangan ke dua adalah perjalanan panjang.”

Janubi memutar kepala menghadap ke utara. Ada seorang perempuan yang berjalan sedikit melawan arus. Ia tidak asing dengan perempuan berbaju ungu muda selutut itu. Walaupun tidak kenal, ia tahu bahwa itu adalah seorang anak dari Jurusan Psikologi yang seangkatan dengannya.

Satu menit yang akan datang dalam pandangan futurologisnya, ia melihat perempuan itu menghampiri si gadis berbaju kuning. Setelah bercakap-cakap, kemudian gadis berbaju kuning itu akan menanyakan perihal lantai tiga Gedung B. Si gadis berbaju ungu itu menjawab bahwa ruang itu biasanya dipakai anak-anak Fakultas Teknik. Si gadis berbaju ungu itu merasa ada yang tidak biasa. Ia kemudian menoleh ke atas, ke lantai dua depan Ruang B320. Ia tersenyum seraya berkata pada adik kelasnya itu bahwa nama pria itu adalah Janubi. Ia menambahi bahwa lelaki itu adalah lelaki paling populer di kampus ini. Lalu tiga di antaranya adalah sahabatnya.

Satu menit kemudian. “Loh, itu kan anak psikologi,” kata Najib saat melihat perempuan berbaju ungu muda menghampiri gadis berbaju kuning, “siapa ya namanya, Rin apa Nin gitu loh seingatku.”

“Nggak masalah. Yang penting kita tahu bahwa bisa jadi gadis berbaju kuning itu, atau bahkan di antara mereka semua adalah anak psikolog. Jadi, kita bisa memprediksi koordinatnya,” ungkap pemuda alim, Dahlan.

Rupanya, Dahlan sedari tadi juga asik memperhatikan empat mahasiswi baru yang berhenti berjalan di bawah pohon itu. Hanya saja, ketiga sahabatnya tidak dapat menyimpulkan siapa yang diperhatikannya, gadis berbaju kuning, atau ketiga yang lain yang tidak kalah memesona, atau bahkan mahasiswi berbaju ungu itu.

“Eh, ngapain dia melihat ke arah kita,” tukas Nanda saat melihat bahwa mahasiswi semester tiga itu juga sedang memandang ke arah mereka berdiri.

“Wah itu. Itu pasti si manis berbaju kuning lagi nanyain aku.” Najib memang over percaya diri.

Lima orang perempuan itu pun berlalu. Maka berlalulah semua yang terlintas di benak Janubi. Sambil menunggu dosen mata kuliah muncul, ia dan ke empat sahabatnya, bahkan para mahasiswa yang lain, turut berbaris di beranda lantai tiga, memandangi kedatangan wajah-wajah baru.

Kemudian Janubi melihat di tengah-tengah kerumunan yang sedang berjalan ke utara itu, ada seorang perempuan yang sedang berjalan sendirian di tengah kerumunan. Atau, menyepi di tengah keramaian. Atau, berada di tengah keramaian namun jiwa terasa sepi.

Lihat selengkapnya