Samarinda, 2009 …
Semua anak di kelas itu duduk berdua, tetapi tidak bagi dirinya. Ia duduk sendiri, berdambingan dengan kursi kosong. Letaknya pun berada di belakang sendiri bagian pojok. Sinar matahari yang remang terhalang pohon cemara, masuk kaca melalui jendela. Beberapa meja dan kursi, tersapu cahaya. Menghangatkan anak-anak yang sedang mendengarkan pelajaran.
Tetapi, tidak bagi dirinya. Bangkunya yang berada di belakang sendiri, itu tidak sampai terjamah oleh matahari. Di sampingnya duduk adalah sebuah tembok yang berlumut di bawahnya. Ia seperti memiliki dunianya sendiri. Ketika semua temannya hampir bermandikan cahaya matahari, mengobrol dengan teman, mendiskusikan pelajaran yan berlangsung, ia duduk sendirian di belakang. Dengan memakai jaket abu-abu berbahan wol, ia berusaha menghangatkan diri sendiri.
Ketika pelajaran berganti, ia memasang earphone hitam, emutar lagu You are Still One, Shania Twain. Waktu pun terasa menjeda, dunia terasa berganti. Sedangkan di hatinya, terangkai beberapa lirik puisi.
Aku tak mengerti kenapa semua orang membicarakan keburukan
Aku tidak mengerti kenapa semua orang membatin kebatilan
Yang aku mengerti, aku tidak mempunyai teman
Semua orang berdusta
Bel pulang berbunyi. Ia berjalan keluar dari kelas. Hamburan langkah-langkah berjalan melewatinya begitu saja. Tidak ada yang menyapa. Ia seperti bunga tulip Taman Keukenhof Belanda yang terasing di kebun anggrek Indonesia. Putih kulitnya tak tertandingi. Akan banyak yang mengira bahwa ia blasteran Asia Timur, padahal tidak sama sekali. Sinar matahari siang mengitari langkahnya, membentuk bayangan hitam di belakangnya. Pun ia melihat langkah-langkah yang menampakkan bayangan.
Cahaya selalu menampakkan kejujuran. Cahaya selalu bisa mengukur tinggi dan pendeknya bayangan kegelapan. Ia berjalan pelan sembari melihat bayangan-bayangan itu. Jiwanya merasakan bahwa tidak hanya sinar matahari yang mengitari langkahnya, tetapi suara-suara itu, suara-suara yang membicarakan dirinya, mengganggu ketenangannya, suara-suara disonansi.
Kini ia berada sudah di luar gerbang. Sekawanan burung dara bertengger di atas gerbang sekolah. Sambil berjalan, ia memperhatikan burung-burung yang memiliki kemampuan mendengar frekwensi infrasonic di bawah 20 Hz itu. Ia mengajaknya berbicara dari hati. Apa kalian mendengarnya atau kalian bisa mendengarku?
BRAKKK!
Seorang lelaki berbaju SMA menabraknya dengan sepeda tepat di paha kirinya. Badannya terhempas ke depan. Punggungnya mendarat bebas ke aspal, setelah sebelumnya, ia terbang setengah meter di udara. Tangan kanannya yang melenggang bebas, tidak sengaja menarik kabel earphone yang menutup lubang telinga. Begitu bangkit perlahan, ia menyadari bahwa suara musik yang diputarnya tidak terdengar lagi. Saat ia mengecek kabel, ia menyadari bahwa kabel earphone-nya terputus.
“Maaf-maaf, kamu tidak apa-apa?” tanya lelaki yang menabraknya dengan tergopoh.
Ia masih merasakan nyeri punggung. Pikirannya syok dan bingung. Ia tidak mampu menjawab. Lelaki itu memperhatikan sekujur badannya. Memastikan ia tidak apa-apa. Ia tidak tidak sadar bahwa roknya tersingkap sampai ke atas lutut. Memperlihatkan kulitnya yang amat putih dan mulus. Kulit mulusnya membuat ia seperti boneka porselain.
Lelaki itu memegang punggungnya dan mengelus-elusnya. Tidak hanya itu, mata lelaki itu menyorot tajam secara liar ke badannya, terutama ke bagian paha. Seekor burung tiba-tiba terbang melewati sorot matahari.
Ia segera bangkit dan menurunkan roknya. Lelaki itu masih jongkok menatapnya. Kemudian, lelaki itu membantunya membersihkan debu yang menempel di rok. Ia pun menoleh cepat ke arah dan memukul tangan lelaki itu.
PLAK!
Lelaki itu pun berdiri dengan mata melotot. “Kamu ini kenapa sih, aku ‘kan sudah minta maaf. Lagi pulakan kamu nggak apa-apa, ‘kan?”
“Kamu nggak sengaja. Tetapi, kalau memang mau niat nolong, tolong dijaga pandangannya, jangan batin yang enggak-enggak,” jawabnya seraya pergi.
Lelaki itu pun melongo melihatinya.
Di gang keluar dari arah sekolahnya, ia melihat ayahnya sudah menunggu. Begitu sudah berhadapan, melihat bajunya kusut dan sedikit terkoyak, lantas ayahnya bertanya, “Loh, kenapa Nak?
“Tadi ada yang nggak sengaja nabrak, Yah.”
“Loh-loh kok bisa, terus?”
“Mali nggak apa-apa Yah.”
“Cuma ….”
“Cuma apa?” sela ayahnya.