Labirin Kosmos: Janubi & Syamali

Faiz el Faza
Chapter #9

Disonansi

Samarinda, 2002 …

Ia yang berusia baru saja berusia sembilan tahun kaget. Saat terbangun siang itu, ia melihat bercak darah di baju dan tempat tidur. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Selama ini, guru-guru perempuanya di sekolah, bahkan ibunya sendiri, tidak memberi tahunya perihal yang akan terjadi padanya di usia-usia itu: menstruasi.

Aduh, apa ini? Ia segera ke kamar mandi dan mengganti celana dalam. Setelah itu ia hendak mencari ibunya. Ia mengganti seprai terlebih dahulu. Ia menarik seprai berwarna biru muda itu untuk dimasukkan dalam keranjang pakaian kotor. Ia berjalan menuju lemari pakaian. Di rak terbawah, ia mengambil sebuah seprai berwarna kuning bermotif bunga. Kemudian menggelarnya di atas tempat tidur.

Ia mengambil selimut dan melipatnya. Setelah menaruhnya di tepi tempat tidur, tiba-tiba badannya terasa dingin. Disusul dengan kepalanya yang tiba-tiba pening. Ia merasa kepalanya berat. Ia pun ambruk ke tempat tidur dengan posisi tengkurap. Saat itulah ia merasakan kesakitan yang luar biasa di sekujur badannya. Kakinya tiba-tiba keram. Punggungnya tiba-tiba pegal. Sendi-sendi tulangnya tiba-tiba ngilu tak tertahan. Perutnya pun terasa mual. Perlahan, ia mulai mati rasa. Pandangannya berkunang-kunang.

“Mali, Mali.” Suara itu ia dengar samar-samar. Ia merasa ada yang menggoncang-goncangkan kakinya. Kelopak matanya terbuka perlahan-lahan.

“Mali, Mali, sudah asar Nak, ayo bangun!” Suara itu kembali didengarnya.

Ia melentang. Ada ibunya yang berdiri di depannya. Dengan badan yang masih berat, ia mencoba duduk. Suara azan dari towa musala belakang rumah terdengar bersahutan dengan musala-musala lain. Ia mengucek-kucek matanya.

“Nak, ayo mandi sana, udah asar!” kata ibunya.

“Hah asar! Bukannya zuhur Bu?”

“Zuhur apanya, ini sudah jam tiga sore.”

Ia menengok melihat jam dinding. Ia terkejut ternyata benar ini sudah Asar.

Ibunya duduk di sampingnya. “Nak, kamu sakit, kok kamu pucat sekali?”

“Nggak apa-apa, Bu.”

Ia mendelik menyadari sesuatu. “Oh!” serunya. Ia lantas membuka roknya, mengecek sesuatu dengan gelagapan.

“Ada apa Nak?” tanya ibunya.

“Nggak Bu tadi aku ….”

“Oh kamu haid?”

“I … iya mungkin Bu.”

“Wah anak Ibu udah haid, selamat ya.”

Ia hanya menyengir malu dan kebingungan, mengapa ada ucapan “selamat” ketika sudah menstruasi. Ia tidak tahu harus berekspresi apa dengan komentar ibunya. Ia mendengar ibunya berkata, “Wah, si bawang merah.”

“Bawang merah apa Bu?”

“Apa sih Nak?”

“Ibu tadi ngomong bawang merah.”

“Loh, nggak kok.”

Lihat selengkapnya