Labirin Kosmos: Janubi & Syamali

Faiz el Faza
Chapter #10

Sepotong Ruang Waktu

Seorang istri, seorang ibu, di tengah prahara rumah tangga adalah sebuah kapal rapuh di tengah gelombang yang menolak untuk karam.

Sepulang dari Taman Tepian Mahakam ...

Motor yang ia tumpangi berhenti depan rumah. Ia turun dari motor. Pintu rumah terlihat tertutup. Ia membalik badan untuk menatap ayahnya sejenak. Ia tidak bisa berlama-lama menatapnya untuk sekadar bertanya apakah ayah tidak masuk. Tanpa medengarkan isi hati sang ayah, hanya dengan melihat wajah itu, ia sudah tahu bahwa suasana hati sang ayah sedang tidak enak setiba di depan rumah.

“Ya sudah Nak, silahkan masuk.”

Ia menyalimi ayahnya. Deru sepeda motor kembali terdengar. Ayahnya balik arah dan meninggalkannya. Ia balik badan dan berjalan tidak bersemangat. Ia langsung membuka pintu. Biasanya, ia mengucapkan salam. Tapi, ia mendengar aura kesedihan di rumahnya. Ia pun mengurungkan kebiasaan.

Ia berjalan pelan menyusuri dinding ruang tamu. Tangannya menyentuh dinding itu dan mengusapnya halus-halus. Di balik dinding itu, ada ibunya yang sedang bersemayam dalam ruang kecil dengan tumpukkan pakaian yang belum dicuci.

Lewat tangannya sebagai konduktor, ia bisa merasakan dengan jelas alam semesta blok waktu yang terjadi pada ibunya. Ia berhenti berjalan dan mendengar ibunya yang sedang merepresentasikan kesedihan lewat isak tangis. Tidak ada yang terjadi pada masa kini dengan menjadi masa lalu kecuali bahwa menjadi irisan baru keberadaan. Ia mendengar secara langsung ibunya mengingat akan suatu esensi dari pertengkaran-pertengkaran yang tidak sempat ia dengarkan secara langsung.

“Andai dia tidak lahir, aku sudah menceraikanmu sejak awal?”

“Sejak awal! Jadi untuk apa kita melalui semua ini, Mas?”

“Untuk apa? bukan untuk apa-apa. Aku menyesal menikahimu. Seharusnya, aku mendengarkan perkataan orangtuaku.”

“Harusnya yang nyesal tuh, aku. Kamu laki-laki. Kamu pemimpin. Aku hanya seorang makmum. Dalam hal ini aku hanyalah korban. Aku nikah sama kamu juga gara-gara kamu dulu yang ngejar-ngejar aku ‘kan? Tiba-tiba aja kamu main dengan wanita lain. Dalam hal ini, aku sakit hati dua kali. Pertama, kamu yang berkhianat. Kedua, orangtuamu yang malah membelamu, padahal bagaimanapun toh, mereka punya cucu yang harus mereka akui juga.”

“Wanita itu, dia pilihan orangtuaku. Dengan begitu, aku mendapatkan pengakuan dari orangtuaku kembali.”

“Terus aku! Aku juga sama Mas. Aku juga kehilangan kepercayaan dari kedua orangtuaku sendiri.”

“Sudahlah, sekarang kita pisah baik-baik. Yang berlalu biarlah berlalu.”

“Tapi Syamali!”

“Assalamualaikum Bu,” katanya yang tiba-tiba masuk kamar dan membuyarkan potongan ruang waktu ibunya, ingatan ibunya pada pertengkaran-pertengkaran dengan ayahnya.

Ia masuk begitu saja dengan tergopoh. Ia mendengar ibunya mengingat-ingat tentang pertengkaran tadi pagi. Saat potongan-potongan ingatan itu mulai membahasnya, menyebut namanya, ia lekas masuk agar ingatan itu menghilang seketika. Atau setidaknya, dapat menjeda walaupun ibunya akan selalu mengingatnya, karena seorang perempuan cenderung mengingat kesedihan berlarut-larut bahkan bertahun-tahun. Ia tidak mau mendengar apa yang telah dikatakan ayahnya ketika ibunya bilang, “Tapi, Syamali!”

Ia merasa bahwa ayahnya sudah pasti melontarkan sebuah kata yang akan terpatri di hatinya untuk selamanya. Membayangkannya saja sudah ngeri. Apalagi jika mendengarkannya secara utuh.

“Waalaikumsalam,” jawab ibunya sembari mengusap tangis, kemudian menyembunyikan sebuah surat di bawah bantal.

Lihat selengkapnya