Labirin Kosmos: Janubi & Syamali

Faiz el Faza
Chapter #11

Ruang Hampa

Tidak ada keajaiban yang rasional. Semua keajaiban itu irasional

Ruang hampa menganga dan menerjunkannya. Lalu menghempaskannya menuju kekosongan. Kesepian demi kesepian melanda begitu saja.

“Apa maksudmu tadi?” Ariska menghardik. “Apa maksudmu ‘aku bukan temanmu’?”

“Bukankah kamu temanan sama aku hanya ingin mendapatkan nilai bagus.”

“Apa sih aku nggak ngerti deh.”

Syamali menyilang tangan. Ia berkata tanpa menatap Ariska, “Bukankah kamu hanya ingin mendapat jawaban dariku saat ujian, begitu ‘kan?”

“Apa sih maksudnya, kamu kok gitu?”

“Aku dengar kamu mengatakan itu pada yang lain, hanya berteman denganku lantaran aku pintar ‘kan?”

“Apa sih maksudmu Mali?”

“Kamu kemarin bilang gitu ke Nadira, iya ‘kan?”

Ariska terdiam. Ia mengingat-ingat. Kemudian berpikir bagaimana mungkin Syamali bisa tahu. Ia mengingat-ingat lebih teliti. Terlintaslah di memorinya bahwa ia sempat melihat Syamali berada di ambang pintu kelas saat ia menggunjing tentangnya dengan Nadira, si Kuncir. Tapi, tampaknya itu cukup jauh jaraknya. Ia bingung mengapa Syamali bisa mendengar pembicaraannya.

“T-Tapi, bagaimana kamu bisa ...” Arika tak melanjutkan. Ia diam sejenak serta mengambil napas berat dan menghempaskannya. “Oke-oke, aku memang mengatakannya,” akunya.

“Benar memang,” lanjutnya kesal tanpa ingin tahu bagaimana cara Syamali bisa mendengarnya berbicara, “benar memang aku mengatakan itu. Terus kamu mau apa?”

“Aku sudah mengatakannya lewat kertas tadi.”

“Oh gitu, ya udah. Lagian siapa juga yang mau berteman sama cewek patung kayak kamu. Kemana-mana pakek earphone, dasar antisosial! Kamu sadar nggak, siapa di sini yang mau temanan sama kamu? Minimal ngajak kamu ke kantin.”

“Nggak apa, aku nggak peduli.”

“Siapa juga yang mau peduli sama kamu.”

Ariska melengos pergi meninggalkan Syamali di depan kamar mandi. Begitu Ariska pergi, Syamali memasang earphone di telinga. Rambut lurus dan tebalnya menyembunyikan earphone itu. Ia pergi ke belakang sekolah memandangi lahan kosong di sana dan mendengarkan musik.

Ia teringat akan masa lalu. Sejak ia mendapatkan kekuatan itu, ia mulai merasa semua orang berdusta. Saat itu semua orang yang ia kenal, seperti daun-daun kemarau, gugur saja satu demi satu. Ia kehilangan temannya satu per satu. Dan Ariska adalah daun terakhir yang telah gugur, jatuh, tersapu angin.

Saat ia kembali ke kelas, ia melangkah tanpa semangat. Ia bertemu dengan Pak Jaka, guru matematika. Pak Jaka menanya kepadanya apakah bersedia didelegasikan sebagai peserta lomba olimpiade matematika seperti saat ia SD dulu.

Ia tidak seketika menjawab. Ia menimang-nimang. Rasa-rasanya, nanti kalau jadi didelegasikan, siapa juga di sekolah yang mau sekadar memberikannya semangat. Nanti kalau didelegasikan, percuma saja rasanya, sebab di rumah juga tidak ada yang mendukungnya.

“Maaf Pak, seperti yang lain saja,” ungkapnya.

“Wah sayang sekali. Padahal kamu … ya sudahlah tidak apa-apa. Bapak paham kok.”

Ia melanjutkan langkah. Tampaknya, berita tentang orangtuanya sudah menyebar dari mulut ke mulut. Ia tidak bertanya pada guru matematikanya itu karena ia bisa membaca apa yang gurunya batin, bahwa gurunya itu paham jika kedua orangtuanya telah berpisah.

Saat pulang, ia melihat sesosok lelaki yang ia kenali. Lelaki itu melambai ke arahnya. Ia mendekat. Ayah!

“Nak, bagaimana kabarmu, Nak?”

“Iya, gini-gini aja.”

“Nak, ayo ikut aku. Hari ini kamu kuantarkan pulang.”

Ia tidak sempat membaca apa yang ayahnya batin. Ia hanya terkesan dengan ayahnya yang seolah-olah menjadi pria murah senyum. Ia berjalan menuju sebuah mobil yang terparkir tidak jauh dari sekolah. Ia bertanya-tanya bagaimana mungkin tiba-tiba ayahnya memiliki mobil.

Lihat selengkapnya