Dari pantulan cermin, ia melihat kerudung biru hitam bermotif bunga lotus pemberian Abid. Ia membuka kerudungnya. Rambutku kehilangan kehitamannya dari hari ke hari. Dan hari ini rambutku total berubah warna. Saat itu ia sadar bahwa itu bukan uban. Rambutnya berkilau kuning keperakan. Ia tidak tahu mengapa.
Namun, ada rasa syukur di sana. Atas berubahnya warna rambut, menjadi jalaran baginya untuk mengenal Abid. Pria muda itu pula yang pada akhirnya membuatnya memakaikan identitas agamanya. Setelah sebelumnya, seumur hidup ia tidak pernah memakai identitas itu, kecuali saat salat.
Hari ini adalah hari keberangkatannya menuju Malang. Saat berpamitan dengan Ibu, ia menciuminya, bibir Ibu mendarat di kedua pipi dan dahinya. Dengan menaiki mobil travel, ia bertolak menuju bandara. Dalam perjalanan sekitar kurang dari dua jam menuju bandara, ia masih terbayang wajah Ibu. Berat sekali meninggalkan seseorang dengan suara detak jantung terindah yang pernah ia dengar. Pelukan itu akan selalu kuingat.
Tiga puluh menit menuju lepas landas. Ia berada di ruang tunggu menunggu instruksi dari maskapai penerbangan. Sesekali, ia menengok ke kanan dan ke kiri, berharap semoga Abid benar-benar datang. Waktu terus bergulir. Terdengarlah instruksi dari pengeras suara bahwa penerbangannya telah siap. Ia lekas bangkit. Dengan berjalan pelan, ia menarik kopernya. Dalam langkahnya, sesekali ia menoleh ke belakang.
Tiga puluh menit setelah lepas landas. Di pesawat, ia teringat percakapannya dengan pria itu satu minggu yang lalu. Saat ia mengambil ijazah sekaligus legalisir, ia bertemu pria itu. “Kak Abid katanya mau ke rumah?”
“Oh iya, Sabtu ya.”
“Iya aku tunggu loh.”
Hari Sabtu lalu, ia dan ibunya memasak makanan enak di rumah. Hari itu mereka akan kedatangan tamu istimewa.
“Mali,” kata ibunya sembari menggoreng ayam, “memang dia kenapa dia mau ke sini?”
Syamali malu-malu. “Iya silaturahmi saja, Bu.”
“Iya, tapi nggak biasanya guru datang ke rumah murid, itu kebalik.” Ibunya terdiam sejenak. Kemudian menatapnya dengan tatapan mencurigakan. “Dia mau ngelamar kamu tah?”
Kalau ada tomat hijau muda yang memerah, itulah perumpamaan wajahnya. “Apa sih Bu, enggak!”
Andai ibunya mempunyai kekuatan seperti dirinya, pastilah ibunya bisa mendengar dag-dig-dug jantungnya.
Dalam lamunan itu, terlintas perkataan ini di benaknya, “Nanti aku akan bertamu ke rumahmu, tapi bukan untuk bertemu denganmu, melainkan dengan Ibumu.”
Dalam lintas-lintas ingatannya, ada pula perkataan ini, “Nanti, saat kamu akan berangkat, aku akan menemanimu di bandara.”
Namun sampai melangkah menuju pesawat, Abid tidak pernah datang dan menepati janji-janjinya. Ia tahu bahwa Abid mencintainya. Memang sih Abid tidak pernah mengatakannya langsung. Tetapi, ia bisa mendengar apa yang Abid katakan dalam hati.