Ia melepaskan kerudungnya perlahan-lahan dan mengalungkannya di leher. Seketika Ning Mala menutup mulutnya dengan kedua tangan. Izzi yang berada di samping kirinya melongo. Riana yang berada di depan cermin seketika berteriak, “Oh my Good!”
Sabila dan Aisyah lekas turun dari ranjang tingkat dua. Mereka lekas menghampirinya dengan tatapan takjub. Begitu pula Maya dan Salsa. Keduanya berjalan setengah berlari ke arahnya.
“Assalamualaikum.” Elis membuka pintu kamar dengan membawa beberapa makanan ringan dalam kantung kresek. Begitu melihat sesosok perempuan berambut kuning keperakan dalam kamarnya, ia kaget. Kantung kresek yang dibawanya terjatuh.
“Tutup pintunya!” Izzi khawatir ada anak kamar lain yang menengok ke dalam.
Syamali waswas dengan tatapan teman-temannya. Ada kelegaan di hatinya. Ia bisa mendengar apa yang mereka batin. Dari apa yang ia dengar, tidak ada satu pun yang membatin jelek terhadapnya. Dari semua batin teman-temannya, kesimpulannya cuma satu, mereka ingin tahu mengapa rambutnya berwarna kuning keperakan.
“Syamali kamu pakai semir?” tanya Izzi.
“Enggak.”
“Lah terus?” Syabila menyela, “kok bisa putih?”
“Itu bukan uban kayaknya.” Elis berkesimpulan.
“Uban itu putih, ini putih perak kok, kayak artis-artis K-POP deh..” Riana berusaha membandingkan.
Sedangkan Ning Mala, dari tadi hanya terdiam menatap rambut Syamali. Ia juga menatap wajah temannya itu. Wajah Syamali ternyata lebih cantik dari yang ia perkirakan. Ia tidak begitu menyukai hal-hal yang berbau Korea seperti Riana. Namun ia merasa pendapat Riana ada benarnya. Kulit Syamali tidak seperti kulitnya. Pun tidak seperti kulit teman-teman yang lain. Syamali lebih tampak seperti gadis-gadis Asia Timur. “Kamu cantik sekali Syamali. Belum pernah kutemukan orang secantik dirimu.” Matanya berbinar saat memuji.
Riana merasa tersaingi. Dengan sebal ia bertanya, “Syamali, ayo jelaskan kenapa rambutmu bisa seperti iini? Itu bukan uban kan? Atau kamu kehilangan pigmen warna rambut. Atau kamu kena penyakit rambut. Atau itu memang uban. Berapa sih usiamu?”
Syamali tertawa kecil menyadari pertanyaan-pertanyaan teman-teman kamarnya yang tiba-tiba tersampaikan hanya melalui satu mulut, si Mulut Seribu, Riana.
Ia menatap Riana yang berada di bekalang Sabila dan Aisyah yang sedang bersila di bawahnya. “Aku juga nggak tahu, Riana. Aku lahir 16 Desember 1993 kok. Aku belum tua. Tapi aku juga nggak pernah memakai semir atau melakukan perawatan rambut sehingga rambutku rusak. Awal mula aku sadar bahwa rambutku putih adalah saat SMA. Mula-mula aku mengira itu uban. Tapi kusadari itu bukan uban. Uban berwarna putih pucat.”
“Tapi ini berwarna kuning keperakan.” Ning Mala akhirnya dapat membelai rambutnya. “Teman-teman,” lanjutnya seraya tersenyum lebar ke arah mereka, “rambut Syamali halus sekali!”
Sabila dan Aisyah masih bersila di bawah. Keduanya merasa enggan berdiri. Keduanya masih terpaku dengan Syamali. Mereka merasa bahwa Syamali adalah seorang bidadari yang tiba-tiba turun dari langit dan harus tinggal di Asrama Ummu Salamah. Teman-temannya mendekati Syamali satu demi satu untuk bisa membelai rambut Syamali. Melihat kerumunan itu, dengan kompak mereka membatin bahwasannya kecantikan Syamali adalah keajaiban.
“Andai saja kamu kuliah di universitas umum, yang tidak mengharuskan mahasiswinya berjilbab, pasti kamu sudah jadi artis di sana,” ujar Riana.
Izzi mendengus. “Walaupun memakai kerudung, Syamali tetap akan jadi artisnya kampus ini. Aku sependapat dengan Ning Mala. Syamali juga orang paling cantik yang pernah kutemui.”
Riana menebak, “Kamu pasti dulu punya banyak pacar ‘kan?”