Ia termenung malam itu. Badannya telentang di atas tempat tidur. Kedua telapak tangannya menumpu kepala di atas bantal, memperlihatkan lengannya yang kekar. Keremangan kamarnya membuat Arc Reactor atau lambang dada Iron Man yang tersablon di kaosnya, berpendar biru. Di langit-langit kamar, ratusan bintang dan bulan menyebar di langit-langit kamarnya. Bersemburat keluar dari sebuah lampu hias di atas meja.
Di dinding kamarnya, terdapat sebuah poster berukuran 100 kali 80 centimeter. Ada gambar seorang superhero yang berdiri di atas sebuah gedung tinggi. Poster itu adalah Tony Stark atau Iron Man yang berdiri di party deck.
Mengenai poster itu, ia pernah ditanya oleh teman-temannya, mengapa tidak memasang poster Tony Stark dengan baju besinya. Ia hanya tersenyum. Ia sengaja menempel poster itu. Ia merasa lebih bisa dilihat sebagai seorang superhero dengan kemampuan finansial tinggi. Sebab di kotanya, Malang, ayahnya merupakan salah seorang pengusaha kaya. Ayahnya mempunyai sebuah toko bangunan bernama UD. Karya Makmur dengan empat cabang di empat kecamatan: Bululawang, Turen, Dampit, dan Gondanglegi. Pusatnya berada di kecamatannya sendiri, Pakis. Kini, usahanya juga telah merambah ke dunia kuliner dengan mendirikan sebuah restaurant seafood, Ocean Park. Terletak di lokasi strategis, Jl. Soekarno hatta, Mojolangu, Kec. Lowokwaru, Malang.
Dengan semua itu, ia sekarang berada di rumahnya yang megah. Tiduran di kamar lantai dua. Jendela yang menghadap ke selatan menyuguhkan panorama Gunung Arjuno yang tenang.
Sedari isya sampai pukul 09.00 ini, ia masih memikirkan kejadian tadi sore. Seorang gadis misterius yang tak mampu baca masa depannya itu membuat otaknya bekerja keras. Ia bertanya-tanya mengapa kekuatannya malfungsi.
Di lain tempat, ada yang bertanya-tanya juga. Syamali masih terbayang-bayang peristiwa sore tadi. Selepas isya tadi, saat mengikuti kegiatan PBA, pelatihan bahasa Arab, yang diwajibkan di untuk anak-anak asrama, atau anak semester satu dan dua, ia tidak begitu bergairah. Saat bercakap-cakap dengan rekan setim dan kakak pembina, bibirnya lebih banyak tidak bergerah. Bayang-bayang lelaki itu terpasang erat di memori otaknya. Sementara detak jantung lelaki itu menjadi resonansi di telinganya.
Dan sekarang, ia merenung di atas tempat tidurnya, menatap asbes polos di atasnya. Sementara itu di bawah ranjangnya, ranjang tingkat satu, Izzi, Ning Mala, Riana dan Salsa, sedang berkutat dengan tugas kelompok. Ranjang Ning Mala dijadikan sebagai meja darurat. Sembari mengerjakan tugas kelompok, sembari meng-hibah tentunya.
Hanya Ning Mala yang sedari tadi memperhatikannya. Sesekali membaca Quran untuk menjaga hafalan, sesekali menengok ke ranjang tingkat dua, di mana Syamali termenung sendiri.
Jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh. Para musyrifah mulai berkunjung ke kamar-kamar untuk memeringatkan para mahasiswi agar bersiap untuk tidur.
“Ning Mala,” panggil Kak Zaivina, sang musyrifah, sewaktu membuka pintu kamar, “teman-temannya disuruh lekas persiapan tidur.”
“Iya Kak Zai.”
“Jangan ada yang begadang ya!”
“Iya Kak Zaivina,” jawab Riana dan kawan-kawan.
Beberapa menit setelah Kak Zaivina menutup pintu, lampu neon dimatikan, berganti dengan lampu tidur, sebuah dop kecil di colokan dekat pintu. Seluruh penghuni kamar lekas merebah di ranjangnya masing-masing.
Ning Mala memperhatikan ke ranjang atasnya. Hatinya bertanya-tanya, apakah Syamali sudah tidur. Sambil menanti lelap, ia melalar hafalan Quran di juz ke-25, surat Al-Furqan. Dalam lalarannya itu, ia teringat peristiwa tadi sore.
Begitu melihat Syamali di depan Gedung B, ia memutuskan untuk menunggunya di samping Gedung Sport Center, jalan menuju asrama putri. Tiba-tiba ia melihat pemandangan menakjubkan. Ada seorang lelaki berlari kencang meneriakkan nama sahabatnya. Ia tahu siapa itu. Itu adalah Janubi. Siapa yang tidak mengenal lelaki itu.
Apalagi Janubi dulu pernah sepesantren dengannya di Bululawang. Ia tidak tahu kalau ternyata Janubi sepesantren dengannya. Ia baru tahu saat ada pertemuan ikatan alumni pesantrennya dalam kegiatan bulanan di kampus itu. Sejak itulah ia sadar bahwa Janubi adalah kakak kelasnya dulu. Meski di kampus akhirnya saling mengenal, ia dan Janubi tidak pernah saling menyapa.
Ia melongo, begitu melihat Janubi tiba-tiba berlari kencang dari lapangan olahraga. Matanya menyorot Janubi yang sedang berlari ke arah Syamali yang sedang menatap layar ponsel. Dalam jeda waktu yang singkat, ada motor yang bergerak dari arah belakang Syamali.
Ia hendak berlari juga. Dalam responnya, ia akan meneriaki Syamali agar minggir. Namun kehendak itu tinggal kehendak. Ia tahu bahwa Janubi akan menyelamatkannya. Ada kilatan aneh di kepalanya saat itu. Muncul pertanyaan di permukaan pikirannya, bagaimana mungkin seolah-olah Janubi tahu bahwa motor itu akan meluncur dengan sendirinya ke arah Syamali?
Keheranannya itu kemudian berganti ketidakmengertian. Dua bola matanya melihat Janubi dengan cekatan, mendorong Syamali menjauhi petaka, sekaligus menangkap Syamali agar tidak terjatuh. Timbullah pemandangan romansa yang tersaji di depannya. Ada apa dengan mereka berdua?
Syamali tertarik dan jatuh di dekapan Janubi. Beberapa saat kemudian, mereka saling bertatap mata sangat lama dan tidak bercakap-cakap. Begitu tampak saling tersadar, Syamali malah meninggalkan Janubi tanpa sepatah kata, apalagi terima kasih.