Janubi seperti halnya medan magnet yang menarik besi-besi di sekitarnya. Demikian pula Syamali. Janubi dan Syamali adalah ambivalensi.
Pagi itu Janubi berjalan bersama Nanda, teman seprodi, di Gedung B lantai tiga. Najib yang merupakan mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab berada di Gedung Fakultas Humaniora mengikuti mata kuliah filsafat bahasa, sedangkan Dahlan yang merupakan mahasiswa Jurusan Pendidikan PAI berada di Gedung C.
Dari tempatnya berjalan, Janubi melihat di kejauhan si gadis misterius yang sedang berjalan ke arahnya. Syamali memandang ke arahnya. Ia tahu mata itu tertuju padanya.
Begitu mendekat, Syamali menyapa, “Kak!”
“Iya,” jawabnya senang.
Sementara itu, Nanda terdiam melihat Janubi disapa oleh perempuan secantik itu. Ia yang tidak tertarik dengan dunia asmara, karena ia dunia asmaranya ada pada dunia pemograman komputer. Namun begitu melihat perempuan itu, ia ingin menyelingkuhi dunia pemograman komputer.
“Terima kasih ya, Kak atas pertolongannya kemarin,” tutur Syamali. Senyum yang khas itu mengembang. Mata indah itu menyipit.
Nanda menatap perempuan itu. Ia melihat hidung perempuan itu amat sempurna, tidak terlalu mancung, pun tidak terlalu pesek. Sementara ujung hidung perempuan itu, melengkung ke bawah dengan manisnya.
“Iya, bagaimana keadaanmu?” tanya Janubi dengan kepercayaan level tinggi.
Syamali tersipu, “Baik, alhamdulillah, Kakak sendiri ‘gimana?”
“Aku baik.”
“Kak boleh minta nomornya?”
“Oke tentu.” Janubi menunggu Syamali mempersiapkan ponselnya. Kemudian ia mendikte, “089-625-561-975.” Sambil mendikte nomor ponsel, ia melihat Syamali tersipu. Semakin tersipu, ia menjadi gemas, menyadari betapa hebatnya aura keanggunan wajah gadis itu.
“Oh iya, siapa namamu?” Tanya Janubi.
Nanda tiba-tiba menamparnya. Janubi pun terkejut. “Kamu ngelindur?”
“Apa sih?”
“Sadarlah, bangun-bangun!”
Ia terbangun. Arlojinya menunjukkan pukul 13.00. Ah aku ketiduran lagi. Suasana Ruang B320 telah sepi. Hanya ada Nanda di sampingnya. Sahabat prianya itu masih berkutat dengan program-progam laptop.
Janubi terbangun lagi. Ia bermimpi di dalam mimpi.
Ia melihat jam menunjukkan pukul 04.15 dini hari. Suara tarhim dari towa musala komplek terdengar. Ia lekas mengambil wudu. Setelah segar, ia duduk di kamarnya. Aku begitu memikirkan gadis itu, sampai-sampai terbawa mimpi. Ah tapi sial. Mengapa mimpi indah itu harus dikacaukan oleh Nanda?
Sementara itu, Syamali duduk di pelataran masjib Ulul Azmi. Tadi malam ia bermimpi bertemu dengan lelaki penyelamatnya itu dan tanpa ragu berterima kasih serta meminta nomor telepon. Aduh, untung saja itu hanya mimpi. Ia tidak bisa membayangkan di dunia nyata bisa segamblang itu bersikap pada seorang lelaki.
Berbicara tentang mimpi itu, ia merasa bahwa mimpinya bertemu dengan lelaki penyelamatnya, bukan sekadar mimpi, saking nyatanya sensasi mimpi itu.
Dalam sebuah garis waktu yang simultan, pukul 04.20 WIB detik ke-54, Janubi dan Syamali membatin secara bersamaan yang bersamaan: “Apakah kamu memikirkanku menjelang tidurmu?
***
Pagi harinya di kampus ...
Janubi berjalan di serambi lantai tiga. Ia menuju Ruang B320 lewat tangga barat. Beberapa meter menuju tangga tengah, ia melihat gadis itu, yang hadir di mimpinya tadi malam, berjalan ke arahnya. Jantungnya tiba-tiba berdebar. Setelah menghirup oksigen cukup banyak, pipinya sedikit mengembang. Dari bibirnya yang menciut, ia mengeluarkan udara demi menyetabilkan detak jantungnya. Mimpi tadi malam akan menjadi nyata!
Akan tetapi, semua yang diangankannya meleset. Gadis misterius itu berlalu begitu saja. Padahal, tangan kanannya sudah terangkat separuh guna melambaikan tangan. Gadis itu melewatinya begitu saja. Setelah tahu bahwa kekuatannya malfungsi di hadapan gadis itu yang seolah membuatnya putus asa, begitu gadis misterius yang diselamatkannya kemarin melewatinya begitu saja, ia merasa putus asa untuk kesekian kali.
Sesungguhnya, Janubi dan Syamali, terjebak dalam situasi ambivalensi. Dua insan yang berada dalam situasi ambivalensi, akan sama-sama penasaran satu sama lain. Namun saat bersua, keadaan akan bertentangan. Satu pihak ingin berkenalan. Pihak kedua mengabaikan begitu saja. Padahal sama-sama ingin bersua.
Janubi berbalik badan dan mengejar Syamali untuk menghadang jalannya.
Syamali berhenti. Ia menatap Janubi sejenak. Tangan kanannya masuk ke dalam kerudung untuk melepaskan earphone yang melekat di telinganya satu per satu. “Ada apa ya?” tanyanya.
Janubi jengkel. “Bagaimana kamu bisa melewatiku begitu saja? Seharusnya kamu bilang terima kasih atau apa kek?”
Syamali tersenyum sebentar seraya berkata, “Terima kasih.”