Saat pulang setelah Janubi dibanting oleh Syamali, ia mengoleskan salep ke punggung. Telapak tangan kirinya berusaha menjangkau punggung kanannya. Di sanalah rasa sakit itu berada. Ia baru sadar bahwa Syamali adalah anak UKM Taekwondo. Ia paham gerakan itu.
Bagaimanapun juga, ia masih merasa berputus asa. Seumur hidup, baru kali ini kecepatannya dikalahkan. Mirisnya, ia ditakhlukkan oleh seorang perempuan. Ia merasa malu sekali. Apalagi, anak bimbingannya di UKM Pagar Nusa mengetahui itu. Padahal sebelumnya, ia bercerita pada anak didiknya kalau ia pernah menjadi asisten Iko Uwais dalam sebuah tour di Jawa Timur.
Ia memakai kaos seusai mengoles salep. Dengan duduk di tepi ranjang, ia melamun membayangkan peristiwa itu. Ia mengingat gerakan itu, tak terduga, tak terbaca, yang membuat kekuatan matanya sirna begitu saja. Ia mengeluh sembari memegangi dahinya. Semua bentuk tanda tanyanya mengenai keganjilan-keganjilan yang terjadi belakangan ini, puncaknya ada di malam ini. Aku benar-benar kehilangan kekuatanku di depannya. Aku harus mencari tahu.
Ia mulai merebah. Badanya miring ke samping kiri. Poster Tony Stark di dinding seolah menertawakannya. Suasana hatinya pun tak beraturan melihat poster itu. Ia pun menelentang. Dari sudut matanya, ia membayangkan saat-saat Syamali menertawakannya. Keresahan itu tiba-tiba berubah menjadi aurora, indah dan berwarna.
Ia teringat momen bibir Syamali yang mengembang dan tertawa serta diringi senyum. Membayangkan itu membuat jantungnya berdetak aneh tak menentu. Betapa indahnya senyuman itu. Riang tawa Syamali yang terngiang-ngiang di kepalanya, membuat tidurnya amat nyenyak malam itu.
***
“Kak!” Suara itu mengagetkannya begitu ia turun dari motornya pagi itu. Ia menoleh dan melihat seorang Syamali yang berdiri di depannya dengan mendekap beberapa buku dan kitab. Ia tertegun tidak percaya dengan apa yang ada di depannya adalah benar-benar Syamali, yang membuatnya putus asa untuk dua hal: akan kekuatannya yang menghilang dan betapa sulitnya mendekatinya.
Namun pagi ini, Syamali malah datang kepadanya. Menyodorkan sapaan yang ceria diselingi senyum dari bibir di tengah-tengah dua pipi yang merah merona. “Syamali?”
“Mali, panggil saja Mali.”
Ia tersenyum.
“Kak, gimana punggungnya?” tanya Syamali.
“Ah … masih sakit.”
Syamali tersenyum atas tingkah Janubi yang berlebihan. Tetapi, ia tidak mampu mendengar hati Janubi, apakah lelaki itu berbohong atau tidak.
“Kak ini.” Ia menyodorkan sebuah salep peregang otot dan memar.
“Oh iya-iya terima kasih.”
“Udah ya, aku ada kelas.”
“Mali ayo nanti makan siang.” Janubi melihat punggung Syamali yang semakin menjauh. “Mali, Warung Soto Haji Solihudin,” teriaknya.
Syamali tak berbalik dan terus berjalan hingga sampai di depan tangga. Lalu hilang di tengah-tengah kerumunan orang-orang yang naik tangga. Ia menatap salep itu beberapa detik, sebelum memasukkannya ke dalam tas pinggang. Di dalam kelas saat mata kuliah berlangsung, ia mengambil kembali salep itu dan menatapnya. Badannya berada di Ruang B320, namun jiwanya mengelana entah ke mana. Apakah namamu juga tunggal, Syamali?
***
Syamali melihat jari telunjuk Riana menggesek-gesek trackpad laptop. Ia menggeser tubuh. Alis matanya terangkat begitu melihat apa yang tampil layar. Ia penasaran bagaimana cara menggunakannya. Melihat orang-orang berkomunikasi di sana tampaknya mengasikkan.
“Ada apa Mali?” tanya Riana sambil membalas komentar Facebook.
“Pengen lihat aja.”
Riana menoleh. “Oh iya, nama FB-mu apa?”