“Oh iya, sebenarnya kemarin malam kamu ngapain sih?” Mimik muka Janubi penasaran.
“Jalan-jalan aja.” Syamali memegangi gelasnya dan melihat sebulir air yang menguap menetes jatuh.
Dalam bulir itu, ia mengingat peristiwa kemarin malam.
Saat itu sepulang dari UKM Taekwondo, ia lekas kembali ke kamar. Begitu melewati tiap deret kamar-kamar Asrama Banafsajun yang tertutup, ia bisa leluasa mendengar semua yang mereka bicarakan dengan mudahnya.
Begitu sampai di depan kamarnya yang berada di pojok sendiri, ia mengurungkan diri untuk membuka pintu. Ada suara-suara yang ternyata membahas dirinya. Ia mendengar seseorang berbicara, “Aku iri sama Mali, ia selalu menjadi pusat perhatian, terutama laki-laki. Bahkan dosen-dosen pun selalu memerhatikannya. Padahal ia tidak vocal sama sekali di kelas. Di mata para cewek, ia terlalu skeptis. Apalagi sekarang ia jadi bahan omongan anak managemen. Katanya ia disukai Ahda.”
Sebelum ia mendengar ping-pong dialog lanjutan, ia lekas memakai earphone dan memutar musik. Ia menopang sikut di pagar serambi asrama. Dirinya memutuskan menunggu jam tidur untuk masuk. Angannya ketika masuk nanti, sudah tidak ada lagi yang membicarakannya.
Janubi, yang melihatnya terdiam usai menjawab, memprotes, “Terlalu aneh bagiku kamu jalan-jalan sampai begitu jauhnya dari asrama, apalagi lampu asramamu akan dimatikan.”
Bulir es yang menguap di sisi luar gelas itu, jatuh mengenai tangannya. Ia memandang Janubi kemudian. Sementara itu, Janubi dipenuhi rasa penasaran. Ia menantikan apa yang akan dikatakan oleh Syamali. Matanya berusaha menginersia Syamali meski tahu akan gagal. Apa yang akan kamu katakan?
Syamali berpikir keras untuk menjawab pernyataan itu. Ia menarik tangan kanannya dari gelas. Dengan tangan kiri, ia mendekap tangan kanan yang baru ia sadar sudah kedinginan. Ia pun teringat mata yang dingin dari seorang makhluk tak bernama yang memperkenalkan diri sebagai ghul. Tatapan mata makhluk itu nanar, dingin dan gelap pekat penderitaan. Tapi, ia sadar makhluk berkulit pucat itu tidak jahat.
“Apa yang ingin kamu katakan, siapa kamu?” tanyanya malam itu pada ghul.
Makhluk itu menjawab, “Aku ghul. Apakah Tuan adalah Maria Orsic?”
Dahinya berkerut. “Siapa itu Maria Orsic?”
Ghul menggelengkan kepala. “Bukan-bukan, maafkan kelalaian hamba. Hamba hanya tidak mengerti konspirasi manusia. Di dunia majazi, hamba adalah budak. Di dunia material ekspatriasi, hamba hanyalah seorang budak. Di dunia Adam ini, ibu membunuh saya. Padahal saya mencintainya.”
Saat itu, ia mendapatkan suara raungan kesedihan dari manusia-manusia yang baru menghirup napas dunia ini, lalu mati dalam keadaan terbuang. Seorang bayi yang tak diharapkan!
Tiba-tiba, air matanya merembes begitu saja tanpa ia sadari. Ia mendengar suara hati yang mengerikan dari makhluk itu. Setiap satu jam sekali dalam dua puluh empat jam revolusi bumi, ada bayi yang yang dibunuh orangtuanya sendiri. Jika dikumpulkan, niscaya bayi-bayi itu akan menumpuk setinggi bukit. Berhiaskan darah, daging, cacing, dan tengkorak.
“Tuan. Anda dalam bahaya!”
Bola matanya melirik ke kanan begitu mendengar peringatan itu. Begitu bola matanya kembali, makhluk itu menghilang bersamaan dengan adanya gelombang gamma. Ada seseorang yang misterius, di mana ia tidak bisa mendengar langkah kakinya, apalagi kehadirannya. Mengingat pesan ghul, ia mundur dan secepat kilat memposisi kuda-kuda dan segera membanting seseorang di belakangnya. Ternyata itu adalah Janubi.
Setelah peristiwa itu, ia kembali ke kamar. Teman-temannya sudah tidur. Ia melihat laptop Riana masih menyala. “Ri, pinjam ya,” pintanya sembari menepuk lengan Riana perlahan.
“Iya,” Riana menggaruk-garuk leher, menjawab di antara sadar dan nirsadar.
Ia mulai mencari di google: Maria Orsic. Ia melihat dan membaca, tentang nama itu, seorang perempuan pengirim signal dari makhluk luar angkasa, konspirasi dunia, menghilang secara miterius dan diperkirakan keluar dari dari bumi menuju dunia lain dengan peradaban yang lebih maju.